SAMPIT – Insentif yang diberikan oleh perusahaan besar swasta (PBS) untuk kepala desa ternyata dianggap ilegal. Sebab, kepala desa merupakan aparatur pemerintah sudah mendapat gaji dari pemerintah pula.
”Insentif dari perusahaan kepada kades itu ilegal, sama dengan gratifikasi. Kalau insentif itu masuk pemerintah desa lalu dialokasikan dalam APBDes, itu boleh,” kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Kotim Deddy Rasyid saat menjawab pertanyaan para kepala desa tentang aturan main pemberian insentif dari PBS di Gedung Serbaguna Sampit, Selasa (9/5).
Deddy juga mengingatkan para aparat desa untuk tidak melakukan pungutan tanpa dasar hukum yang jelas. Jika aparat desa tetap nekat, bisa saja tersandung kasus hukum. Apalagi menjelang pemilihan kepala desa serentak, pihak-pihak tertentu bisa saja memanfaatkan masalah ini untuk menjatuhkan kades.
Hingga April 2017, kata Deddy, Kejari Kotim telah menerima laporan dugaan tipikor mengenai keuangan desa sebanyak enam kasus. Dari enam laporan tersebut, satu kasus sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan, satu kasus dihentikan karena tidak cukup bukti, dan empat kasus masih dalam penyelidikan.
Dia juga mengungkapkan, adanya orang yang mengaku-ngaku dari Kejari Kotim, lalu meminta dokumen/uang/barang kepada aparatur desa yang sedang bermasalah. Untuk memastikan apakah orang tersebut benar-benar dari kejaksaan, aparat desa diminta untuk menghubungi langsung Kasi Intel Kejari Kotim atau pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kotim.
Ada juga kepala desa yang menanyakan soal pungutan yang dilakukan pemerintah desa untuk peringatan HUT Kemerdekaan RI. Menanggapi hal ini, Deddy mengakui ada agenda rutin di semua level pemerintahan namun tidak dianggarkan, yakni agenda HUT RI.
Dalam kasus ini, pungutan boleh dilakukan asalkan tidak untuk kepentingan pribadi, mesti melalui musyawarah, tidak ada unsur kerugian negara, dan harus akuntabel. ”Jadi meminta sumbangannya tidak boleh melebihi anggaran yang dibutuhkan,” Terangnya.
Kejaksaan juga gencar dalam sosialisasi pencegahan tipikor dalam pengelolaan keuangan desa. Sebab, dana desa begitu besar sejak tahun 2015. Selain itu banyak regulasi baru dan belum dipahami aparat desa.
Ada beberapa faktor penyebab orang melakukan korupsi, yakni faktor kebutuhan, kesempatan, ketamakan, dan ketidaktahuan. ”Ada orang divonis melakukan tipikor karena ketidaktahuan, apalagi saat ini banyak aturan baru dan sering berubah-ubah. Bahaya kalau sampai tidak tahu,” tutur Deddy.
Sementara itu Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kotim Redy Setiawan mengimbau aparat desa untuk kooperatif jika dihubungi pihak kejaksaan. Klarifikasi penting dilakukan jika terdapat indikasi kesalahan dalam pengelolaan keuangan.
”Saat ditelepon jaksa, telepon jangan dimatikan. Klarifikasi sejak bisa menyelamatkan aparat desa dari jerat hukum,” katanya. (yit)