SAMPIT – Praktik mafia dalam pengelolaan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) Kotim disinyalir masih terjadi. Akibatnya, terjadi kebocoran dalam APBD Kotim yang berimbas pada tak maksimalnya pembangunan. Praktik mafia anggaran yang masih bergentayangan itu sulit diungkap.
Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli mengatakan, anggaran dalam APBD Kotim banyak bocor. Anggaran besar yang dialokasikan untuk pembangunan, tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersentuhan langsung pada rakyat. Hal itu disebabkan masih adanya praktik pemberian fee proyek.
Jhon mencontohkan, untuk pembangunan proyek fisik senilai Rp 500 miliar, realisasi hanya berkisar Rp 300 miliar, karena banyak potongan dengan berbagai dalih. Catatan Radar Sampit, pembagian fee proyek menjadi salah satu bagian dalam praktik korupsi yang terjadi dari pusat hingga daerah.
Praktik semacam itu masih sulit dibuktikan, terutama di daerah. Misalnya, fee proyek pejabat 10 persen, pajak 12 persen, dan keuntungan kontraktor yang bisa mencapai 20 persen, sehingga total uang yang tidak tepat sasaran itu berkisar 42 persen. ”Jadi, wajar saja hampir separuh anggaran itu hilang begitu saja,” katanya.
Banyaknya anggaran yang terbuang, kata politikus PDIP ini, bisa dilihat melalui perbandingan proyek jalan yang dilakukan swasta, yakni perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan Rp 200 juta, yang bisa membuat jalan hingga satu kilometer. Apabila proyek itu dikerjakan pemerintah, anggaran untuk membangun jalan dengan panjang yang sama, bisa menghabiskan Rp 1 miliar.
”Padahal, kalau dibanding kualitas jalannya bisa bagus milik swasta itu. Ini saya anggap kebocoran anggaran itu tadi. Nilai proyek yang seharusnya Rp 500 miliar, hanya menjadi Rp 300 miliar saja realisasinya. Ke depannya bagaimana hal ini kita minimalisir dan maksimalkan anggaran untuk membiayai pembangunan,” katanya.
Menurut Jhon, pola pengelolaan anggaran yang dilakukan selama ini membuat lamban pembangunan dan menguras anggaran. Untuk mengefektifkan dan efisiensi anggaran, bisa diselesaikan melalui pembangunan fisik dengan sistem swakelola, misalnya melalui pengadaan alat berat yang ditempatkan di setiap kecamatan.
Alat berat itu bisa digunakan secara swakelola oleh desa-desa di bawahnya untuk membangun infrastruktur penghubung antardesa, desa ke kecamatan, dan antarkecamatan. Anggaran pemeliharaan bisa ditempatkan di pos anggaran kecamatan.
”Jadi, penanggung jawabnya ada di kecamatan. Kemudian untuk penggunaan operasional di desa, bisa menggunakan dana desa. Saya yakin problem infrastruktur jalan, irigasi, jalan usaha tani, dan lainnya bisa teratasi dengan cepat. Ini solusi yang bisa ditempuh ke depannya,” kata mantan Ketua DPC PDIP Kotim ini. (ang/ign)