SAMPIT – Kejaksaan Negeri Kotim berkomitmen memberangus mafia tanah yang selama ini dinilai meresahkan. Korps Adhyaksa tersebut tengah mengusut kasus dugaan tindak pidana khusus terkait sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotim.
Kepala Kejari Kotim Wahyudi mengatakan, kasus itu dinaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan. Namun, Kejari belum bersedia menjelaskan secara detail pihak yang ditetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
”Sudah naik kasusnya jadi penyidikan. Namun, seperti apa hasil penyidikan, kami belum bisa membeberkan," kata Wahyudi, akhir pekan lalu.
Menurut Wahyudi, kasus tanah di BPN yang ditangani pihaknya berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman Km 10 ruas Sampit-Pangkalan Bun. Kasus tersebut muncul setelah adanya sengketa tanah antara kedua belah pihak.
Dari hasil penyelidikan jaksa, ditemukan indikasi tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi. Penyidik melihat ada dugaan pelanggaran terhadap Pasal 9 UU Nomor 20 Tahun 2001.
”Ini salah satu perkara di Kotim yang selalu bikin rusuh, karena memang sepertinya gak bisa tertib di BPN. Ya, kita tertibkan dengan pidana,” tegasnya.
Pekan lalu, penyidik Kejari Kotim memerika sejumlah pejabat di lingkungan BPN, mulai dari Kepala BPN Kotim dan kepala saksi. Dua pejabat itu langsung masuk ke ruang penyidik tindak pidana khusus. Namun, Wahyudi menolak berkomentar siapa saja yang telah diperiksa.
Wahyudi menegaskan, penyidik sudah mengantongi bukti dan ada indikasi dugaan tindak pidana yang dilakukan oknum BPN hingga tingkat kelurahan. Dugaan itu muncul dari pemalsuan dokumen atau surat palsu yang dilakukan secara berjamaah. ”Ini pemalsuan, bisa juga kena KUHP dan UU Tipikor,” jelasnya.
Wahyudi menambahkan, modus yang terjadi di BPN Kotim, oknum yang melakukan pelanggaran selalu cuci tangan dari setiap masalah yang terjadi. Masalah itu mulai dari tumpang tindih sertifikat, maupun sertifikat dengan surat keterangan tanah (SKT).
”Setiap ada masalah, mereka selalu melempar ke perdata. Padahal tidak semua," kata Wahyudi.
Apabila terjadi tumpang tindih surat tanah, lanjutnya, patut dicurigai terjadi kesalahan prosedur. Hal itu bisa mengarah pada tindak pidana pemalsuan dan termasuk hukum pidana umum. Selain itu, bisa juga mengarah pada korupsi, yakni pidana khusus.
”Kelurahan keluarkan surat tanah, misalnya, lalu diajukan ke BPN. Tanpa turun ke lapangan, langsung dikeluarkan sertifikat oleh BPN. Ini yang salah, tanpa mengecek ulang saksi sebatas, akibatnya terjadi tumpang tindih," tandasnya. (ang/ign)