PROKAL.CO,
Oleh : Robertinus Sulu )*
Bercermin pada pelaksanaan Pilpres 2014, maraknya penyebaran isu yang berbau SARA dan ujaran kebencian akan kembali terjadi pada Pilpres 2019. Penyebaran isu tersebut merupakan salah satu bentuk black campaign untuk menjatuhkan kredibelitas lawan di mata pemilih.
Black campaign tidak hanya digunakan pada Pilpres 2014, tapi juga digunakan pada Pilgub DKI 2017. Dari black campaign yang dilakukan pada Pilgub DKI 2017, menyebabkan peningkatan ekskalasi politik tidak hanya di DKI Jakarta namun juga berdampak secara nasional. Oleh karena itu, potensi kerawananblack campaign pada Pilpres 2019 harus diwaspadai, mengingat dampak yang ditimbulkan berpotensi dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Hingga saat ini, baru Presiden Jokowi yang telah dipastikan akan maju pada Pilpres 2019 sebagai calon petahana. Meskipun pelaksanaan Pilpres masih lama, potensi black campaign sudah dapat dirasakan. Hal itu terbukti dengan beredarnya isu-isu negatif tentang Jokowi yang masih menjadi calon tunggal dalam Pilpres 2019.
Isu yang paling potensialuntuk menyerang Jokowi adalah sentimen agama. Selama ini, Jokowi diisukan sebagai seorang pemimpin yang anti Islam. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa ormas lainnya menuding bahwa Jokowi adalah pemimpin yang anti Islam. Menurut HTI, bukti bahwa Jokowi anti Islam adalah tindakan pemerintahan Jokowi mengkriminalisasi ulama dan aktivis Islam, serta mencekal dai, membubarkan, dan menghalangi kegiatan dakwah di sejumlah tempat.
Selain itu, menurut mereka, dengan dikeluarkannya Perppu Ormas semakin mempertegas sikap Jokowi yang anti Islam. Karena dalam anggapan mereka, Perppu Ormas tersebut menjadi jalan pintas untuk membubarkan HTI dan akan membawa Indonesia menuju rezim diktator.