MUARA TEWEH – Seorang siswa SMP di Kota Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, bertindak nekat. Remaja berinisial D tersebut berani mengempesi ban mobil patroli polisi. Dia emosi setelah ditilang karena tak memiliki surat izin mengemudi (SIM) dan surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Reaksi emosional itu terekam dalam video berdurasi 1 menit 29 detik. Video itu jadi viral dan diberitakan sejumlah media online nasional. Kejadiannya Senin (7/5) lalu di Jalan H Koyem. Anak di bawah umur itu terjaring razia saat Satlantas Polres Batara menggelar Operasi Patuh Telabang.
Selain mengempeskan ban mobil patroli, D juga menyobek kertas tilang yang diberikan petugas padanya. Dalam video tersebut, Kasat Lantas Polres Batara AKP Zulyanto LK menanyakan alasan D menyobek surat tilang dan mengempesi ban mobil patroli.
Anak tersebut tak menjawab pertanyaan aparat. Dia menangis sambil menutupi wajahnya dan meminta kepada petugas agar motor matik yang digunakannya dikeluarkan. D tak terima disebut melakukan pelanggaran.
Dia mengaku sudah mematuhi aturan dengan menggunakan helm dan memiliki kaca spion. Selain itu, di tengah tangisannya, dia juga berdalih bisa menggunakan sepeda motor. Namun, pembelaan itu dijawab Zulyanto, bahwa dia tak memiliki SIM dan STNK sebagai syarat kelengkapan berkendara.
Ketika Zulyanto kembali bertanya alasannya mengempeskan ban mobil petugas, anak tersebut menjawab agar angin ban mobil yang kempes itu diisi. Zulyanto dan sejumlah petugas lainnya lantas tertawa mendengar jawaban yang keluar di tengah tangisannya yang cukup keras tersebut.
Sambil tertawa, Zulyanto mengelus kepala anak itu, sambil berkata, ”Anak zaman now.” Diperlakukan demikian, emosi D bukannya mereda. Dia terlihat kian marah ke petugas. Tangannya membanting pintu mobil polisi dengan keras.
Kepada Radar Sampit, Kamis (10/5), Zulyanto mengatakan, pelajar tersebut terjaring razia lantaran tidak memiliki SIM dan tak membawa STNK. Orang tua anak itu juga mendatangi kantor polisi, meminta maaf atas perilaku anaknya. Pihaknya tidak mempersoalkan, karena anak tersebut masih di bawah umur.
”Kami dalam hal ini meminta kepada orang tua anak, agar terus memberikan pembinaan terhadap. Jangan sampai dari hal-hal kecil seperti ini, memicu anak ini melakukan hal yang lebih,” ujar Zulyanto.
Tindakan Emosional
Sumber yang dikutip Radar Sampit dari laman aswendo2dwitantyanov.wordpress.com, tindakan D tersebut merupakan reaksi alamiah terhadap situasi yang dihadapinya. Emosinya yang tak terkendali, membuat D bertindak tanpa berpikir panjang.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia keluaran Kementerian Pendidikan Nasional, emosi merupakan keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan), atau keberanian yang bersifat subjektif.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur. Emosi berasal dari bahasa latin, yaitu movere yang artinya menggerakkan, bergerak. Hal ini berarti kecenderungan bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi. Emosi yang memancing tindakan dapat kita amati dari anak-anak.
Dalam kasus di Muara Teweh, emosi D dipicu dari tindakan aparat yang menilangnya. Usianya yang masih remaja, juga turut berperan besar terhadap reaksi emosionalnya saat itu.
Dalam buku Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik (M Ali dan M Asrori, 2004, h.67-69), masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional.
Umumnya, masa ini berlangsung sekitar umur tiga belas tahun sampai umur delapan belas tahun, yaitu masa anak duduk dibangku sekolah menengah. Reaksi emosi yang diperlihatkan D, merupakan gelaja emosi pada periode remaja tengah.
Dalam periode itu, tanggung jawab hidup yang harus dipikul semakin ditingkatkan remaja, yaitu mampu memikul sendiri juga masalah tersendiri bagi mereka. Tuntutan peningkatan tanggung jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya, tapi juga dari masyarakat sekitarnya.
Lingkungan di luar keluarga bisa menjadi masalah bagi remaja. Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk.
Akibatnya, remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orangtua atau orang dewasa di sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai alasan yang masuk akal menurut mereka.
Reaksi itu diperlihatkan D saat menjawab pertanyaan Kasatlantas Polres Batara, Zulyanto. Dia merasa telah berkendara dengan benar, seperti menggunakan helm dan kaca spion. Selain itu, baginya, syarat berkendara cukup hanya dengan seseorang bisa mengendarai sepeda motor, tak perlu memiliki surat izin mengemudi.
Tindakan D yang merobek kertas tilang dan mengempesi mobil patroli, memperlihatkan emosinya yang belum stabil. Surat tilang dari aparat dan motornya yang ditahan, ditanggapi secara sungguh-sungguh dan ditafsirkan sebagai ejekan atau meremehkannya. Akibatnya, D bersikap antipati dan melawan. (viv/ign)