PALANGKA RAYA – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kalteng bakal mengambil langkah tegas terhadap Bupati Kotim Supian Hadi terkait dugaan korupsi yang membelitnya. Supian selama ini dinilai bukan kader yang loyal. Partai juga menudingnya berselingkuh alias ”bermain mata” dengan partai lain.
”Pasti kami akan mengambil langkah. Bisanya DPP langsung jika terkait korupsi. Kalau kami di DPD Kalteng, tidak berkepentingan dengan Supian Hadi, karena dia ini namanya saja sebagai kader. Tapi, tindakannya sering tidak sejalan dengan partai, bahkan bermain dengan partai lain,” kata Sekretaris DPD PDIP Kalteng Yohanes Freddy Ering, Senin (4/2).
Freddy menegaskan, PDIP tidak menolerir kader yang terlibat kasus korupsi. Partai akan menyiapkan pengganti bupati dua periode itu. Namun, DPD PDIP Kalteng menunggu arahan DPP terkait hal tersebut.
”Pasti diganti jika terbukti. Nanti DPP yang akan memutuskan siapa yang akan menggantikan Supian Hadi. Kita tunggu saja. Yang jelas, PDIP akan menindak tegas kader yang korupsi,” ujarnya.
Freddy menuturkan, DPD PDIP Kalteng mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di Kalteng, khususnya di Kotim. Apalagi kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus yang membelit Supian Hadi cukup besar, mencapai Rp 5,8 triliun.
”Kami sangat mendukung KPK mengusut tuntas kasus dugaan korupsi perizinan tambang di Kotim. Tentu ini tidak hanya Supian Hadi sendiri yang terlibat dalam kasus tersebut,” katanya.
KPK sebelumnya menetapkan Supian Hadi sebagai tersangka tindak pidana korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan terhadap tiga perusahaan di Kotim tahun 2010-2012. Dia diduga menerima suap dari penerbitan izin tambang ilegal dengan total sebesar Rp 2,56 miliar. Akibat perbuatannya, negara juga dirugikan hingga Rp 5,8 triliun.
Supian diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain/korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pemberian IUP terhadap tiga perusahaan.
Adapun tiga perusahaan itu, yakni PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM). Masing-masing perizinan itu diberikan pada tahun 2010 hingga 2012.
Bom Waktu
Kasus yang menyeret Bupati Kotim Supian Hadi sebagai tersangka di KPK atas dugaan tindak pidana korupsi terkait penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), membuat prihatin kalangan DPRD Kotim. Lembaga itu sudah mengingatkan bahwa pertambangan yang izinnya diterbitkan saat itu akan jadi bom waktu.
”Saya rasa kami tidak kurang sudah mengingatkan pada pemerintah daerah untuk mengevaluasi perizinan pertambangan yang sudah diterbitkan sejak awal operasionalnya perusahaan pertambangan yang disebut masuk dalam kerangka kasus itu,” kata Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli.
Menurut Jhon, sejak 1 Mei 2012, izin tambang tidak bisa lagi diterbitkan jika tidak melalui proses lelang. Pada 2012 dan 2013 lalu DPRD Kotim pernah melakukan rapat dengar pendapat terkait itu.
”Dalam RDP itu dikeluarkan rekomendasi yang ditujukan kepada saudara bupati, karena DPRD menilai dari cek lapangan saat itu, kami duga sudah menyalahi UU Minerba,” kata dia.
Mengacu UU Minerba, lanjutnya, penerbitan izin tanpa lelang tidak dibenarkan sejak 1 Mei 2010. Izin perusahaan itu keluar setelah terbitnya undang-undang tersebut. DPRD Kotim meminta agar dilakukan evaluasi, bahkan rekomendasi itu juga ditembuskan ke Gubernur Kalimantan Tengah yang saat itu dijabat Agustin Teras Narang.
Gubernur , kata Jhon Krisli, pernah menghentikan operasional PT Fajar Mentaya Abadi (FMA) kala itu. Namun, perusahaan tetap bekerja di lapangan dan mengabaikan surat Gubernur.
”Kami juga pernah turun ke lapangan, lokasi operasional PT FMA dan PT Billy Indonesia. Bahkan, di PT Billy itu, kami pernah dihalangi. Jalan kami ke lahan dipotong,” tuturnya.
Jhon Krisli mengaku prihatin atas kasus tersebut. Pihaknya tidak bisa berbuat banyak, karena masalah itu sudah masuk ranah hukum. Bahkan, pihaknya menghargai proses hukum tersebut.
Terkait keterlibatan tim sukses dalam kepengurusan tambang seperti diungkap KPK, hal itu benar adanya. Bahkan, mereka yang berkecimpung di tambang tersebut sebagian ada yang duduk di DPRD Kotim.
”Orang-orang tambang itu banyak duduk di DPRD Kotim saat ini. Masyarakat, khususnya di Cempaga, pasti tahu siapa orang Dewan yang terlibat dalam operasional tambang itu,” ujar seorang mantan pekerja di salah satu perusahaan tambang tersebut, seraya meminta namanya tak disebutkan.
Saat operasional, kata dia, perusahaan tambang yang aktif itu sebenarnya hanya dua, yakni PT FMA dan PT Billy Indonesia. PT Aries tidak sempat produksi. ”Tambang di Sudan itu dalam sehari bisa keluar paling sedikit 10 tongkang. Makanya dulu sering menabrak lanting warga. Itu karena memang jumlahnya banyak yang masuk,” ujarnya.
Saat itu, tongkang yang mengangkut berbobot minimal sekitar 5.000 metrik ton bauksit. Bahkan, lanjutnya, selama tambang operasional, warga di daerah itu kehidupan ekonominya membaik. Sebab, mereka banyak ikut bekerja, baik sebagai pekerja di lahan, satpam, hingga bagian humas dan urusan angkutan tongkang.
”Memang saat jaya-jayanya tambang, banyak warga hidupnya sejahtera. Gajinya besar, jauh berbeda dengan kondisi sekarang,” tandasnya. (arj/ang/ign)