Hoaks bisa jadi teror menakutkan. Berita bohong yang menyebar tak terkendali kerap memanaskan situasi. Berpotensi memicu konflik tingkat tinggi. Kearifan lokal bisa jadi senjata ampuh menangkalnya.
DESI WULANDARI, Sampit
Darah Nahup tiba-tiba naik ke ubun-ubun. Warga Desa Tumbang Ngahan, Kecamatan Antang Kalang itu emosi membaca kabar di pesan WhatsApp-nya, Selasa (22/10) siang lalu. Dalam kabar itu, disebutkan, seorang remaja dari suku Dayak, ditusuk orang dari suku lain.
Nahup yang harus susah payah mendapatkan sinyal internet dengan naik bukit yang jaraknya sekitar empat kilometer dari desanya itu, langsung percaya kabar yang beredar tersebut. Apalagi ada informasi lanjutan bahwa sejumlah orang warga dari wilayahnya siap turun ke Sampit untuk mengecek kebenaran informasi itu.
Kabar itu menyebar dengan cepat. Sejumlah informasi menyesatkan juga terus beredar. Di antaranya menyebutkan, anak yang ditusuk sebelumnya tewas dikeroyok sejumlah orang dari suku lain.
Baru pada sore harinya Nahup sadar informasi yang dia terima sebelumnya merupakan hoaks. ”Saya kembali mendapatkan siaran dari pihak kepolisian di medsos, bahwa kejadian yang diceritakan murni kriminal dan korban tidak dibacok. Apalagi meninggal dunia. Korban hanya luka lebam,” ujarnya.
Kabar yang diterima Nahup merupakan peristiwa pengeroyokan yang terjadi Senin (21/10). Sebanyak sembilan remaja terlibat pengeroyokan itu. Mereka adalah Sp (19), Mt, AN (18), Rn (17), Ms (17), AT (18), MR (17), Hr (18), AS (17), dan Al (19). Penganiayaan terjadi di Jalan Jaya Wijaya VIII, Kecamatan Baamang, Senin (21/10) malam.
Korbannya dua orang. RP (18) dan YP (17). Keduanya mengalami lebam di wajahnya. Selain itu, pelaku juga merusak motor korban dengan cara merobek jok motor. Tak terima dengan perlakuan itu, korban melapor ke polisi. Aparat langsung turun tangan mengamankan para pelaku.
Siapa sangka kenakalan remaja itu jadi bahan hoaks. Tanpa diketahui siapa yang pertama kali menyebarkan, informasi yang beredar berbeda 180 derajat dari kejadian sebenarnya seperti yang diterima Nahup sebelumnya. Hoaks itu juga membuat sejumlah warga pedalaman dikabarkan siap turun ke Sampit.
Informasi yang diterima Radar Sampit, sejumlah warga dari luar daerah ramai-ramai menyatakan siap turun ke Sampit untuk meminta pertanggung jawaban para pelaku. Kondisi itu nyaris membuat Sampit kembali mengulang tragedi memilukan tahun 2001 silam.
Sejumlah tokoh dan petinggi daerah langsung berkumpul membahas dan meredamnya. Mereka di antaranya Bupati Kotim Supian Hadi, Kapolres Kotim AKBP Mohammad Rommel, Dandim 1015 Sampit Letkol Czi Akhmad Safari, dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya, menggelar pertemuan agar isu yang beredar tak berkembang liar.
Musyawarah digelar untuk meredam kabar yang beredar agar situasi tak semakin panas. Pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam itu akhirnya menyimpulkan, pengeroyokan yang terjadi murni tindak kriminal biasa. Bahkan, hanya kenakalan remaja. Apalagi antara korban dan pelaku sebelumnya pernah berteman. Polisi telah memproses kasus itu secara hukum.
”Sembilan tersangka sudah kami amankan. Namun, kasus ini masih dalam penyelidikan, untuk mengetahui peran mereka dan berbuat apa. Nanti, setelah hasil penyelidikan, peran mereka akan terlihat,” kata Kapolres Kotim AKBP Mohammad Rommel.
Rommel juga menegaskan, korban masih sehat. Informasi yang beredar, seperti korban menderita luka tusuk atau lainnya, dipastikan hanya hoaks. Masyarakat diharapkan tidak terprovokasi informasi semacam itu.
Supian Hadi juga menegaskan, isu yang beredar beberapa terkait pengeroyokan tersebut banyak yang tak benar. Dia berharap masyarakat tidak termakan isu menyesatkan semacam itu.
”Mari saling menjaga ketertiban bermasyarakat demi Kotawaringin Timur yang lebih baik. Saya juga berharap kepada tokoh-tokoh masyarakat agar menyosialisasikan kepada warganya betapa pentingnya menjaga ketertiban masyarakat,” ujarnya.
Tokoh adat di Kotim Untung TR menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut pada aparat. Dia meminta masyarakat tak terprovokasi dengan kabar palsu yang beredar.
Akhmad Safari menambahkan, kasus kriminal itu jangan sampai memprovokasi orang - orang yang tidak tahu permasalahan sebenarnya. ”Kalau terprovokasi akan mengakibatkan konflik. Hal itu harus dihindari,” tegasnya.
Dari Palangka Raya, Kapolda Kalteng Irjen Pol Ilham Salahudin memastikan insiden pengeroyokan itu merupakan kriminal murni. Kepolisian sudah mengamankan sembilan terduga pelaku.
Ilham menegaskan peristiwa itu akan diusut. Dia telah menginstruksikan Dirintelkam bersama Kapolres Kotim, berkoordinasi dengan Danrem menindaklanjuti hal tersebut.
”Itu kriminal murni. Saya sebagai Kapolda menjamin penegakan hukum terhadap para pelaku. Jadi, tidak perlu ada gerakan atau upaya balasan dari pihak mana pun. Percayakan kepada Polri,” kata Ilham.
Kesigapan para tokoh itu berhasil meredam situasi. Hasil musyawarah itu senjata ampuh menangkal hoaks yang beredar.
Dalam tradisi masyarakat adat Dayak, musyawarah merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Setiap ada masalah, warga Dayak melakukan musyawarah untuk penyelesaiannya secara damai.
Musyawarah perdamaian terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah perjalanan suku Dayak adalah perjanjian damai Tumbang Anoi ratusan tahun silam. Musyawarah besar itu dilaksanakan di Desa Tumbang Anoi, Daerah Aliran Sungai Kapuas, 22 Mei-24 Juli 1894.
Mengutip artikel yang ditulis Nindita Nareswari dan Paulus Alfons Y.D dalam jurnaltoddoppuli.wordpress.com, perjanjian itu dihadiri pejabat pemerintah Hindia Belanda dan tokoh pribumi dari sekitar 400 suku di Kalimantan.
Rapat besar itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya penghentian peperangan antara pasukan Barandar (Dayak) dengan Belanda tanpa saling menuntut kerugian. Kemudian, pengakuan kewenangan pemerintah Hindia Belanda untuk membangun dan memajukan daerah Dayak, diimbangi dengan pengakuan pemerintah akan kedaulatan dan status lembaga kedamangan.
Selanjutnya, semua pihak menghentikan kegiatan Asang Maasang (orang banyak melawan orang banyak, termasuk antarsuku). Semua pihak sepakat menghentikan kegiatan Bunu Habunu (saling bunuh). Lalu, menghentikan kayau mangayau (memotong kepala musuh sebagai tanda kepahlawanan).
Selain itu, semua pihak menghentikan kebiasaan Jipen Hajipen dan Hajual Hapili Jipen (perbudakan dan jual beli budak), sesuai dengan penetapan Undang-Undang Pemerintah Hindia Belanda tahun 1891.
Disepakati pula penyeragaman garis besar 96 pasal hukum adat yang menjadi pedoman yang dipegang oleh Damang Kepala Adat, di samping hukum barat (pidana dan perdata) yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian, segala bentuk perkara maupun silang sengketa yang belum selesai, baik atas nama perorangan atau kelompok, diberi kesempatan luas untuk diajukan dalam rapat untuk diadili dan didamaikan sampai tuntas.
Hasil musyawarah itu dipegang teguh masyarakat Dayak hingga kini. Dalam kehidupan kesehariannya, warga Dayak juga menanamkan falsafah huma betang. Falsafah itu serupa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tapi tetap satu. (***/ign)