SAMPIT- Sebagian warga Sampit yang kerap menikmati daging kelelawar, tak terpengaruh dengan kabar yang menyebutkan hewan itu jadi biang wabah corona. Mereka tak yakin dengan informasi itu, mengingat kelelawar sudah dikonsumsi sejak lama dan dijadikan sebagai obat tradisional.
”Saya kira kalau dibilang kelelawar sebagai sumber masalah itu perlu ada pembuktian dari sisi ilmiah. Sebab , kami sejak lama sudah memakan daging hewan itu,” kata Dody, warga Kota Sampit.
Dia menjelaskan, dari bentuk fisiknya, kelelawar ada dua jenis, tetapi masih dalam spesies yang sama. Untuk yang berukuran besar, di Kotim disebut dengan bingamat atau ngawat, sementara untuk yang berukuran kecil dinamakan pandan.
Dody meyakini daging kelelawar sebagai obat. Apalagi hati hewan itu. Dipercaya sebagai obat penyakit asma. ”Katanya untuk obat macam-macam, tetapi yang jelas itu bisa dimakan dan dagingnya enak. Manis, mirip daging tupai,” kata Dody.
Dia mengaku tak terpengaruh dengan isu yang menyebutkan kelelawar jadi biang wabah. Mereka mendapatkan hewan itu dengan cara membeli pada pemburunya. Harganya mulai Rp 10 ribu-Rp 50 ribu per ekor. Dagingnya dimasak dengan air panas dan setelah dikuliti. Jenis masakannya beragam. Ada yang digoreng kering, dimasak layaknya sup, dan yang paling familiar rica-rica.
”Dagingnya manis. Persis juga seperti daging burung puyuh,” kata dia. (ang/ign)