SAMPIT – Organisasi dan lembaga adat Dayak memberi peringatan terakhir pada Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) agar kasus kekerasan yang melibatkan anggota perguruan pencak silat itu tak terulang lagi. Apabila peringatan itu dilanggar, perguruan itu harus bubar tak tak boleh berdiri lagi di Kalimantan Tengah.
Penegasan itu disampaikan organisasi sayap Forum Pemuda Dayak (Fordayak), Perajah Motanoi. ”Kalau ini terjadi lagi, dari Motanoi se-Kalimantan akan mengusir PSHT dari Bumi Habaring Hurung dan jangan mendirikan perguruan lagi di sini,” kata Ketua Harian Perajah Motanoi Selpius dalam pertemuan dengan PSHT di Taman Miniatur Budaya, Sampit, Jumat (14/2).
Pertemuan itu digelar sebagai mediasi dan mencari penyelesaian masalah terkait penganiayaan yang dilakukan delapan oknum anggota PSHT terhadap seorang pemuda, Hr (20), beberapa waktu lalu.
Humas Motanoi Darmo meminta PSHT segera membuat surat kepada seluruh anggotanya agar melarang melakukan kekerasan terhadap siapa pun, terutama warga lokal. ”PSHT mungkin sudah biasa baku hantam, tapi tolong jangan terapkan kepada kami, karena kami menjunjung tinggi adat budaya. Tolong nanti suratnya tembuskan ke kami, agar kalau terulang lagi, kami bisa mempertegasnya,” ujarnya.
Ketua PSHT Cabang Sampit Susanto mengatakan, melakukan kekerasan terhadap siapa pun tak pernah diajarkan dalam PSHT. Mereka yang melakukan itu sudah melanggar aturan perguruan. Bahkan, pelaku penganiayaan itu telah resmi dikeluarkan dari perguruan.
Dari pertemuan itu terungkap, pengeroyokan pertama terjadi Minggu (12/2). Korban lalu dipanggil Ketua PSHT Ranting Ketapang Heriyanto untuk menandatangani surat pernyataan dan dijanjikan keselamatannya. Namun, pengeroyokan kembali terjadi Senin (13/2) dini hari.
Sekretaris Motanoi Wartati Sri Wahyuni mempertanyakan alas an korban diminta membuat surat pernyataan. ”Harusnya surat perdamaian antara kedua belah pihak, bukannya surat pernyataan yang ditandatangani korban. Korban mengaku dipaksa membuat surat pernyataan ini,” ungkap Sri.
Setelah diskusi panjang lebar, Selpius akhirnya meminta Heriyanto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua PSHT Ranting Ketapang. Dia dinilai gagal sebagai ketua. Heriyanto meminta maaf atas perbuatannya. Dia menegaskan, tidak ada unsur intimidasi pada korban. PSHT juga siap dibubarkan apabila aksi kekerasan yang dilakukan anggotanya terulang.
Sementara itu, dalam mediasi antara keluarga korban dengan PSHT yang digelar Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim, perwakilan keluarga korban, Faturahman, mendesak PSHT dibubarkan. . ”Kami sebagai keluarga sangat marah melihat apa yang mereka lakukan dan kami menginginkan PSHT sebaiknya dibubarkan saja,” tegasnya.
Menanggapi itu, Susanto mengatakan, pihaknya akan mengeluarkan delapan oknum anggotanya yang melakukan pengeroyokan. ”Kami tegas kepada oknum yang seperti itu. Kami tidak menolerir dan kami mengeluarkan mereka dari keanggotaan PSHT,” ujar Susanto.
Susanto menuturkan, PSHT merupakan organisasi pencak silat yang ada di Kotim sejak 1989 dan terus berkembang. PSHT merupakan organisasi terbuka dan semua orang bisa masuk tanpa memandang agama, ras, dan golongan. Perguruan itu tersebar di seluruh Indonesia, bahkan hingga luar negeri.
Meski demikian, dia mengakui anggotanya melakukan kesalahan dan pihaknya juga kurang melakukan komunikasi dengan lembaga adat. ”Kami akui salah, karena selama ini tidak pernah komunikasi dengan DAD dan keberadaan kami begitu kurang dikenal,” katanya seraya menegaskan, pihaknya mendukung proses hukum pada pelaku penganiayaan, baik secara pidana maupun adat.
Terpisah, Kabid Humas Polda Kalteng Kombes Pol Hendra Rochmawan mengatakan, kasus penganiayaan tersebut murni criminal, tak terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dia meminta masyarakat memercayakan pada kepolisian.
”Kami pastikan prosesnya transparan sampai persidangan. Semua pelaku sudah tersangka dan dikenakan pasal penganiayaan serta sudah ditahan sesuai aturan hukum,” ujarnya.
Hendra menuturkan, pengeroyokan terjadi karena tersangka kesal ketika mengetahui korban, Hr (20), bercerita kepada temannya bahwa dia pernah belajar dan bagian dari PSHT di kampungnya. Delapan tersangka lalu menginterogasi korban di kawasan ikon Patung Jelawat.
”Korban tidak bisa menunjukkan kartu anggota maupun bukti lain (sebagai anggota PSHT), hingga langsung dipukuli sampai babak belur,” tutur Hendra. (dia/ang/daq/ign)