Bagi sebagian orang, limbah kayu industri mebel atau furnitur dinilai tidak berguna. Dibuang, dibakar, bahkan dibiarkan berserakan. Namun, di tangan Sulistiyo, limbah tersebut justru dijadikan kerajinan unik dengan nilai ekonomis tinggi.
YUSHO RICKY PRAYOGA, Palangka Raya
Merintis usaha kerajinan ukiran kayu motif khas Dayak sejak 2014 lalu, Sulistiyo memilih memanfaatkan cukup banyak limbah kayu mebel yang tidak lagi digunakan. Meski hanya memanfaatkan potongan kayu tidak berguna, usaha tersebut mampu menambah pundi-pundi rupiahnya.
Warga Jalan G Obos Kompleks Bhayangkara II Kota Palangka Raya ini menamai usahanya Trio Art. Berbagai ukiran khas Dayak dibuatnya hanya dengan menggunakan alat seadanya. Mulai dari ukiran talawang atau perisai berukuran kecil hingga besar, kecapi, ukiran batang garing, hiasan dinding, hingga ornamen lain yang bercirikan Kalteng.
Tidak ada kriteria khusus dalam memilih kayu untuk dijadikan kerajinan ukiran. Sebab, dengan hanya memanfaatkan limbah kayu mebel tersebut, membuat dirinya tidak kesulitan mencari bahan baku utama kerajinan.
”Limbah kayu dari potongan mebel itu kan biasanya tidak dipakai lagi, jadi itu yang saya olah lagi menjadi sesuatu yang ada manfaatnya. Daripada dibuang, kayu bekas ini saya ambil karena masih memiliki nilai jual,” kata Sulistiyo, Senin (18/1).
Sejak awal merintis usaha tersebut, Sulistiyo mengaku belajar secara otodidak dari berbagai referensi. Selain itu, masukan dari rekan juga menjadi salah satu pendorong baginya untuk bisa membuat berbagai jenis karya seni.
Menurutnya, diperlukan keuletan dan keseriusan untuk menekuni kerajinan tangan dari kayu tersebut, sehingga bisa menghasilkan karya yang bagus. Banyak hal yang dipelajari, mengingat ukiran khas Dayak tidak sekadar ukiran, karena cukup banyak pola dan bentuk yang harus diperhatikan.
”Sebenarnya, kalau dikatakan sulit itu tidak juga, karena kalau mau belajar maka pasti ada jalan. Apalagi teman-teman juga sering beri banyak masukan dan saya juga terus belajar mencari referensi,” ucapnya.
Berkat kerja keras dan tangan terampilnya, usaha tersebut terus bergerak dan menghasilkan banyak karya seni dengan nilai jual ratusan hingga jutaan rupiah. Harga tersebut menjadi bukti, bahwa kayu bekas mebel bukanlah sampah yang tidak berguna.
”Kalau untuk harga mulai dari ratusan ribu, ada yang Rp 200 ribu sampai yang jutaan itu Rp 3 juta. Untuk harga tergantung dari ukuran dan jenis barangnya,” ucapnya.
Uniknya lagi, kerajinan ukiran tersebut semuanya dibuat dengan alat seadanya atau hand made. Meski memiliki mesin untuk membantu proses pengukiran, dia mengakui ukiran yang dikerjakan dengan tangan jauh lebih bagus ketimbang dibuat dengan mesin.
”Sebetulnya, kalau mengukir ini tergantung orangnya. Kalau saya lebih terbiasa pakai tangan, apalagi kaya ukuran talawang ada sisi, yang sulit dikerjakan dengan mesin,” katanya.
Lebih lanjut Sulistiyo menuturkan, banyak hal yang memotivasinya menggeluti usaha kerajinan tersebut. Selain karena pundi-pundi rupiah, motivasi lainya karena kepedulian terhadap isu lingkungan.
Dia mengaku cukup prihatin dengan limbah kayu yang tidak terpakai dibiarkan begitu saja. Tentunya hal tersebut dapat menjadi salah satu ancaman lingkungan jika terus menerus dibiarkan. Berangkat dari situlah dia termotivasi menggerakkan usaha yang memberi banyak manfaat, baik dari sisi ekonomi dan lingkungan.
”Saya juga ingin memotivasi bahwa banyak hal yang bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bernilai. Namun, yang terpenting bukan nilainya yang dilihat, tapi sisi lainya, seperti usaha saya ini bagaimana dampaknya terhadap lingkungan,” ucapnya.
Diharapkan pemanfaatan limbah kayu dan barang bekas lainnya dapat dilakukan semua pihak. Setidaknya hal tersebut dapat berdampak positif untuk lingkungan tempat tinggal. Sisi positif lainya, dapat menjadi salah satu yang bermanfaat bagi ekonomi jika mampu dijadikan barang yang memiliki nilai jual.
”Saya berharap apa yang saja kerjakan ini memberi manfaat bagi lingkungan biar pun tidak terlalu besar,” pungkasnya. (***/ign)