MUARA TEWEH –Masyarakat umat Hindu Kaharingan di Desa Muara Mea Kecamatan Gunung Purei Kabupaten Barito Utara (Batara), masih memperjuangkan Hutan Gunung Piyuyan dari tindakan pengrusakan. Tokoh adat setempat pun memprotes kegiatan penebangan pohon yang dilakukan oleh pihak PT Indexim Utama Coorporation (IUC).
Seperti diutarakan Ketua Lembaga Majelis Daerah Agama Hindu Kharingan Kabupaten Batara Ardianto, dirinya sangat menyayangkan tindakan pihak perusahaan yang merusak Hutan Piyuyan yang disakralkan oleh masyarakat umat Hindu Kharingan. Apalagi hanya untuk mengambil sumber daya alam (SDA)nya atau kayu-kayu nya.
Menurut Mantan Anggota DPRD Batara ini, perusahaan bukannya tidak tahu apa yang menjadi adat kebiasaan masyarakat, terutama umat Hindu Kaharingan yang ada di wilayah ini. Terutama kebiasaan Wara.
Ardianto membeberkan, kawasan hutan Gunung Piyuyan tersebut adalah lokasi proses penyampaian perjalan roh atau Liyau menuju ke surga.
”Jadi saya mendengar sangat lucu kalau perusahaan tidak tahu, kalau itu tempat yang disakralkan. Sementara personil atau pekerja perusahaan adalah orang Dayak yang tahu asal-usul dari mana latar lebakang mereka,” ujarnya kepada media ini, beberapa hari yang lalu.
Dirinya pun berharap, masalah ini menjadi perhatian pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.
”Paling tidak harapan kami secara pribadi dari lembaga majelis daerah Agama Hindu Kaharingan, menginginkan perusahaan tidak sama sekali beroperasi di lokasi itu. Dan izin HPH mereka dikeluarkan dari Hutan gunung Piyuyan serta juga kawasan Gunung Penyeteaw dan Gunung Lumut (Dua gunung lainnya yang juga disakralkan di Kecamatan Gunung Purei red),” papar Ardianto.
Ditegaskannya pula, bahwa ia mendukung hasil musyawarah besar yang dilakukan se Kecamatan Gunung Purei beberapa waktu yang lalu. Antara lain bahwa PT IUC harus diberlakukan tuntutan secara adat.
Sementara itu, Kepala Desa Desa Muara Mea, Jaya Pura mengaku terkejut setelah mendapatkan laporan warga, bahwa hutan gunung Piyuyan yang selama ini disakralkan di desanya, kayunya ditebangi pihak PT IUC. Menurutnya, setelah melalui musyawarah saat ini PT IUC telah berhenti melakukan kegiatannya di kawasan tersebut.
”Kita berharap kepada pihak perusahaan agar bisa mematuhi apapun yang dituntut oleh lembaga adat dan keagamaan nanti. Karena pengerusakan itu menganggu roh leluhur yang sudah meninggal dunia,” sebutnya.
Jaya Pura menguraikan, tuntutan lainnya dari lembaga adat ke pihak PT IUC diantaranya melaksanakan ritual untuk roh-roh yang telah meninggal dunia, dan ritual keselamatan untuk yang masih hidup. Kemudian melakukan pembayaran terhadap denda-denda adat, karena merusak harus ada sanksinya.
Kemudian, dari Pemerintah Desa juga meminta perusahaan mengeluarkan kawasan hutan sakral tersebut dari RKT nya, serta meminta kepada perusahaan mereboisasi kembali hutan yang rusak.
”Untuk kayu-kayu yang telah ditebang tidak boleh bergerak atau dikeluarkan dari kawasan hutan Gunung Peyuyan. Sebab adanya aktivitas perusahaan dikhawatirkan akan menambah rusak Hutan tersebut,” pungkas Jaya Pura.
Ia mengingatkan, jika perusahaan tidak mengindahkan anjuran adat, maka terpaksa pihaknya akan menempuh jalur hukum dan perusahaan tidak boleh bekerja di wilayah Desa Muara Mea.
Sementara itu, wartawan telah berupaya mengkonfirmasi perwakilan pihak perusahaan tersebut yakni Awi Andi Tanseng untuk menanggapi persoalan tersebut. Namun yang bersangkutan masih tidak memberikan respon. (viv/gus)