Sebagai wilayah yang terisolasi tak mudah bagi pemerintah meningkatkan pembangunan di Kecamatan Pulau Hanaut. Selain letak geografis yang sulit dijangkau, sejumlah faktor lainnya turut menghambat. Program Tentara Manunggal Membangun Desa hadir menjawabnya.
USAY NOR RAHMAD, Sampit
Pulau Hanaut merupakan salah satu dari 17 kecamatan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Saranau. Bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa. Bagian timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Katingan. Sedangkan sebelah barat berseberangan dengan Kecamatan Mentaya Hilir Selatan yang terpisah oleh Sungai Mentaya dengan bentang 1,2 kilometer.
Pulau Hanaut memiliki sejumlah potensi ekonomi yang menjanjikan. Di antaranya perkebunan kelapa, kopi, dan berbagai buah-buahan yang melimpah ruah setiap musimnya. Menghasilkan padi kualitas terbaik dari pertaniannya. Tak hanya itu kecamatan ini juga memiliki potensi wisata sangat menjanjikan, seperti Pantai Satiruk dan Pantai Cemeti, yang perawan dan belum tersentuh investasi.
Tak hanya itu kecamatan ini juga memiliki potensi wisata sangat menjanjikan, namun belum tersentuh investasi.
Di balik pesona menggiurkan itu semua, kecamatan ini nyatanya masih tertinggal. Bahkan tak berlebihan jika orang menyebutnya sebagai salah satu wilayah yang terisolasi di Bumi Habaring Hurung. Letak geografis dan minimnya infrastruktur menjadi salah satu musabab.
Pemerintah bukan berdiam diri melihat kondisi ini. Berbagai upaya dilakukan salah satunya melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) dari berbagai tingkat, baik desa, kecamatan, hingga kabupaten setiap tahunnya dengan berbagai usulannya. Namun, selalu saja banyak kendala.
”Memang kondisi geografis Pulau Hanaut sulit, berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya,” kata Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotim Dadang Siswanto.
Pemerintah pun seakan tak bisa berbuat banyak untuk pembangunan di kecamatan berpenduduk 20.420 jiwa ini. Salah satu alasannya, karena akses jalur darat yang masih belum ada.
Di sisi lain, para pekerja proyek banyak yang gentar lebih dahulu, untuk mengerjakan sebuah pembangunan di kecamatan yang berjarak 43 kilometer dari pusat kota itu.
”Para kontraktor juga berpikir seribu kali. Biaya mobilitas bahan lebih besar dari harga bahan itu sendiri,” ungkap Roni Kurniawan, praktisi kontruksi di Sampit.
Sebagai contoh, jika kayu ulin Rp 5 juta per kubik biaya angkutnya bisa menyamai harga tersebut, bahkan bisa lebih mahal. Bagaimana tidak, material harus diturunkan di dermaga. Selanjutnya diangkut menyeberang sungai menggunakan perahu. Sesampai di dermaga seberang, material kembali diangkut ke lokasi proyek.
"Harga angkut ini yang tak sebanding. Jadi, jangankan mau membangun, ikut lelang saja sudah keder duluan," kata Roni.
Camat Pulau Hanaut H Eddy Mashami membenarkan adanya salah satu kendala itu. Meski saat ini harga standar material seperti besi sudah ditentukan berdasarkan wilayah masing-masing, namun tetap saja menjadi pemikiran para kontraktor.
”Ya, mengingat mobilisasi material bangunan harus diangkut melalui sungai risikonya tinggi misalnya tenggelam. Artinya memerlukan biaya tambahan untuk bongkar muat dan biaya penyeberangannya,” jelas Eddy, Senin (26/10).
Sebagian besar wilayah KecamatanPulau Hanaut berada di pinggir Sungai Mentaya. Pulau Hanaut terdiri dari 14 desa meliputi; Desa Satiruk, Desa Bapinang Hilir Laut, Desa Bapinang Hilir, Desa Bapinang Hulu,Desa Makarti Jaya, Desa Rawa Sari, Desa Babirah, Desa Hanaut, Desa Serambut, Desa Babaung, Desa Bantian, Desa Hantipan, Desa Penyaguan dan Desa Bamadu. Sejumlah anak sungai memisahkan desa satu dengan desa lainnya. Sehingga keberadaan jembatan menjadi suatu keharusan bagi masyarakat desa-desa itu.
Sayangnya, jembatan-jembatan yang ada belum layak dilewati. Apalagi bagi masyarakat yang membawa hasil pertanian dan kebun dalam jumlah banyak, pasti kesulitan. Bahkan, cenderung membahayakan.
Jembatan-jembatan yang berkontruksi kayu itu banyak yang hancur dengan bolong sana-sini. Serpihan patahan kayu yang tajam bisa merobek kulit kaki kapan saja. Lebih parah lagi, tiang-tiang penyangga jembatan sudah doyong, sewaktu-waktu bisa ambruk dan menimbulkan korban lebih banyak. Sementara di bawah jembatan, bisa saja sudah siaga predator Pulau Hanaut dengan tatapan kelaparan. Ya, buaya-buaya muara yang siap menjelma bak malaikat maut.
“Ada sebanyak 35 jembatan besar di Pulau Hanaut. Sebanyak 8 jembatan di antaranya mengalami kerusakan parah,” ungkap H Eddy Mashami.
Kerusakan di sejumlah jembatan itu cukup menyulitkan masyarakat. Apalagi sebagian besar masyarakat di wilayah itu memiliki mata pencaharian sebagai petani, pekebun dan nelayan.
”Sangat sulit sekali, ngeri juga. Apalagi bagi warga seperti saya yang sering lewat membawa angkutan kelapa yang banyak, harus hati-hati. Kalau tidak, bisa celaka,” kata Sarwaji, petani Desa Bapinang Hilir.
Tak hanya itu kerusakaan jembatan ini juga berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat antardesa. Seperti yang dialami Nurul Qomariah, warga Desa Bapinang Hilir ini, terpaksa harus pulang sepekan sekali untuk bertemu dengan orang tuanya.
”Tidak bisa sering-sering, karena kondisi jembatan yang cukup menyulitkan. Sementara komunikasi lewat telepon atau media sosial pun di sini masih susah, ” kata wanita yang bekerja di Desa Bantian ini.
Jembatan begitu vital bagi masyarakat karena merupakan satu-satunya sarana untuk mobilisasi. Bisa saja lewat jalur sungai untuk berpindah dari desa satu ke desa lainnya, namun tak setiap saat ada perahu yang melayani. Sekalipun ada, tentu akan mengeluarkan Rupiah lagi.
Program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) reguler Kodim 1015 Sampit pun hadir di Kecamatan Pulau Hanaut. Ini seakan menjawab semua doa-doa yang diminta masyarakat selama ini.
”Alhamdulillah tahun 2020 ini perjuangan kami menunjukkan hasil. Melalui Musrenbang 3 jembatan besar yang rusak, bisa diperbaiki lewat program TMMD,” kata Eddy Mashami.
Kendati hanya 3 jembatan Eddy bersyukur. Dia berharap tahun selanjutnya, 5 jembatan lain yang rusak bisa diperbaiki lagi.
Adapun 3 jembatan yang menjadi target sasaran TMMD yakni, jembatan Handil Gayam di Desa Bapinang Hilir dengan panjang 15,30 meter dan lebar 3,80 meter.
Selanjutnya jembatan Handil Samsu dengan panjang 42 meter dan lebar 3,80 meter berlokasi di Desa Bapinang Hilir. Serta jembatan Sei Babirah di Desa Babirah yang berukuran panjang 42 meter dan lebar 3,80 meter.
Selain itu target TMMD lainnya yaitu perbaikan Musala Al Hidayah yang berukuran panjang 6,50 meter dan lebar 6,50 meter dan pembangunan pos terpadu, keduanya berada di Desa Bapinang Hulu.
"Tak hanya sasaran fisik tapi juga nonfisik. Tujuannya mempercepat pembangunan di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat," jelas Komandan Kodim 1015 Sampit Letkol CZI Akhmad Safari.
Kelima target pembangunan fisik itu harus selesai dalam waktu sebulan. Pengerjaannya, sejak 22 September dan berakhir 21 Oktober. Sebanyak 150 personel dilibatkan terdiri dari anggota TNI, Polri dan masyarakat yang bekerja secara gotong-royong.
Irama pukulan palu bersahutan, menjadi nyanyian pengiring setiap hari bagi para lelaki yang bekerja. Para wanita turut andil. Ada yang membuatkan minuman. Ada juga yang menyiapkan hidangan kecil. Sesekali canda keakraban terlontar dari mulut para ksatria dan warga di sela pekerjaan.
Tak membutuhkan waktu lama, para pria berbadan tegap itu cepat membaur dengan warga. Mereka saling membantu dan saling menjaga. Ketika ada yang mengangkat kayu besar, yang lain tanpa komando dengan antusias membantu. Ketika ada pekerja yang terjun ke air, yang lain mengawasi, memastikan sekeliling tidak ada kehadiran buaya seperti yang dikhawatirkan.
Tanpa terasa, hari ke hari berlalu. Sebulan sudah TMMD dilaksanakan. Sejumlah target pembangunan fisik maupun nonfisik telah diselesaikan dengan baik. Namun masyarakat seakan tak mau itu cepat berlalu. Mereka ingin para tentara tetap hadir, membantu mereka membangun desa-desa yang mereka cintai itu.
Begitu juga bagi para prajurit Satuan Petugas (Satgas) TMMD, mereka sedih ketika berpamitan dengan warga. Betapa tidak, perkenalan sebulan cukup menimbulkan rasa cinta. Kini harus berpisah untuk kembali menjalankan tugas yang lain.
”Sangat sedih karena hari ini, saya harus meninggalkan keluarga asuh selama bertugas TMMD,” ungkap Pratu Deky, saat berpamitan dengan warga di Pulau Hanaut.
Sementara itu, kesulitan-kesulitan yang sebelum dirasakan masyarakat Pulau Hanaut kini mulai terurai. Aktivitas masyarakat kembali lancar. Kekhawatiran berganti menjadi asa baru dengan terwujudnya titian impian.
Tiga jembatan yang diperbaiki kini telah kokoh. Tak ada bolong apalagi doyong. Aktivitas masyarakat semakin lancar.Para petani makin mudah dan leluasa mengangkut hasil panen. Tak perlu khawatir celaka saat melintas jembatan.
"Alhamdulillah sekarang kami mudah mengangkut hasil panen. Sekalipun dengan jumlah banyak. Kapan saja, malam hari pun bisa, karena jembatan sudah nyaman dilalui," ungkap Mansyur, petani di Desa Bapinang Hilir.
Tak hanya itu, jembatan yang baru kini pun dirancang lebih tinggi dari sebelumnya. Sehingga perahu warga yang biasanya lewat bawah jembatan mengangkut hasil kebun tak perlu menunggu air sungai surut lagi.
Demikian halnya dengan hubungan sosial masyarakat kini semakit rekat dengan bagusnya jembatan. Keberadaan jembatan membuat warga merasa semakin dekat. Seperti yang diakui warga Desa Babirah.
”Hore! Jembatan kami sudah bisa dilalui. Sekarang aman dan lancar. Hubungan kami dengan warga Desa Bapinang Hilir semakin erat. Bisa sering-sering silaturahmi, begitu juga dengan warga desa-desa lainnya,” kata Rubio.
Warga merasakan dampak positif yang luar biasa dengan diperbaikinya jembatan-jembatan mereka. Berkat program TMMD, pengerjaan titian impian yang terasa mustahil kini menjadi nyata.
Tak hanya manfaat fisik yang mereka rasakan, semangat gotong royong yang ditularkan lewat kemanunggalan TNI kini menular ke jiwa-jiwa masyarakat. Semangat membangun mereka kini meningkat. Jembatan- jembatan kokoh yang dibangun bersama menjadi saksi buah perjuangan kebersamaan.
”Selain bisa menikmati hasil atau manfaat fisik dari kegiatan TMMD seperti rehabilitasi jembatan, musala maupun pos terpadu, masyarakat juga diharapkan tetap menjaga semangat gotong royong,” kata Komandan Kodim 1015 Sampit Letkol Czi Akhmad Safari.
TMMD adalah semangat awal bagi masyarakat Pulau Hanaut. Semangat itu harus dipupuk masyarakat. Demi pembangunan lebih baik lagi. Kini, pemerintah sedang membangun jalan dari Cempaka Mulia Timur, Kecamatan Cempaga. Jalan itu nantinya akan tembus hingga ke Pulau Hanaut. Proyek jalan yang dana sekitar Rp 250 miliar itu diharapkan mampu memecah keterisolasian sejumlah wilayah salah satunya Pulau Hanaut.
Semoga ketika jalan itu sudah sampai nanti, semangat kebersamaan dalam gotong royong itu tak pernah padam. Semangat membangun negeri, tak harus berkoar-koar teriakan pemerataan pembangunan. Tapi mulai saja dari kesadaran diri dari lingkup terkecil yang kita mampu. (***)