Porang, namanya. Tanaman penghasil umbi ini mirip dengan suweg dan iles-iles. Komoditas ekspor ini masih asing di masyarakat. Hanya beberapa warga Sampit yang menanamnya.
YUNI PRATIWI, Sampit
Boyadiyanto tampak semangat menjelaskan tentang porang kepada pengunjung Kotim Fair di Jalan Ahmad Yani Sampit, pekan lalu. Umbi-umbi porang seukuran kelereng hingga sebesar bola basket dipajang di meja. Porang yang dibawanya bukan untuk dijual kepada pengunjung, tapi sebagai bahan edukasi.
"Tanaman porang ini sejenis umbi-umbian. Mirip dengan suweg dan iles-iles. Jika dillihat secara teliti, antara porang, iles-iles, maupun suweg memiliki perbedaan fisik," kata Boyadianto yang juga Ketua Pengurus Daerah Aspeporin Kotim.
Boyadianto menjelaskan, porang merupakan sumber pangan lokal yang potensial dikembangkan. Sayangnya porang belum jadi pilihan umum sumber pangan di Indonesia. Porang justru menjadi bahan makanan vaforit masyarakat Jepang. Karena itulah porang lebih banyak diekspor. Harganya tergolong tinggi untuk kategori tanaman jenis umbi-umbian.
"Untuk harganya, di Jawa saat ini harganya mencapai Rp 14.000 - Rp 15.000 per kilogram. Karena itulah mulai membudidayakan porang,” ujarnya.
Berat satu buah umbi porang untuk satu musimnya tidak sama. Mulai dari 700 gram sampai 2 kilogram. Jika dibiarkan hingga dua musim, umbi porang akan terus membesar. Beratnya bisa mencapai 9 kilogram lebih.
"Pertumbuhan umbi porang tergantung tingkat kesuburan tanah," sebutnya.
Untuk mendapakan bibit juga tidak sulit. Tanaman porang yang sudah dewasa akan muncul puluhan biji di sela-sela daunnya. Biji yang biasa disebut katak inilah yang dipakai untuk bibit.
Untuk lebih mengenalkan porang kepada warga Sampit, Boyadianto membuka stan pada acara Kotim Fair pada 12-14 Februari lalu.
"Kami mengenalkan porang kepada masyarakat agar ikut memanfaatkan lahan kosong dengan menanam prang. Masalah penjualan pascapanennya, tidak perlu khawatir. Bisa hubungi kami," tambahnya.
Boyadianto miliki lahan porang seluas 3 hektare di tiga lokasi, yakni di Jalan Walter Condrat, Gg. Suka Makmur, Kecamatan Baamang dengan umbi yang sudah besar-besar. Sedangkan untuk umbi yang masih kecil-kecil ada di Jalan Sudirman Km 15 dan Km 29.
”Di Sampit belum banyak yang nanam. Justru di Parenggean yang banyak,” kata Boyadianto.
Menurutnya, tanah di Kotim cocok untuk budidaya porang, bahkan hasilnya sangat memuaskan. Tanaman porang juga dapat ditanam pada segala jenis tanah sehingga masyarakat tidak perlu ragu untuk mencobanya.
”Tanah gambut bisa dibalur-balur, sehingga umbi tidak terendam air,” ujarnya.
Porang saat ini menjadi komoditas ekspor di sektor pertanian. Porang diolah secara modern untuk menjadi bahan campuran kosmetik, penjernih air, bahan baku pembuatan lem, bahkan jelly karena banyak mengandung glucoman atau serat alami yang larut dalam air serta bisa digunakan sebagai zat aditif makanan atau emulsifier (pengental).
Namun, porang cukup berbahaya jika dimakan tanpa melewati proses pengolahan karena mengandung kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal. Kalsium oksalat ini merupakan racun segar sehingga jika dimakan akan membuat mulut, lidah, dan tenggorokan iritasi. (yit)