Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) bakal diwarnai gelombang unjuk rasa menuntut kewajiban plasma perkebunan sebesar 20 persen. Aksi yang merupakan ledakan dari polemik panjang yang tak bisa diselesaikan itu, akan dilaksanakan di sejumlah daerah di Kotim. ”Rencana melakukan aksi tetap dimatangkan dan dilakukan. Ini semuanya untuk menuntut program plasma 20 persen kepada perkebunan,” ujar Rahmad, salah satu koordinator aksi, Jumat (11/11).
Rencana aksi melibatkan sejumlah desa juga akan terjadi di wilayah Kecamatan Cempaga dan Cempaga Hulu. Aksi itu merupakan upaya menuntut realisasi plasma 20 persen kepada perkebunan yang sudah lama operasional. Kepala desa disebut-sebut bakal memimpin sejumlah aksi. Ketua Komisi II DPRD Kotim Juliansyah mengatakan, dalam beberapa pekan terakhir ada banyak surat yang masuk Komisi II sebagai tembusan. Sebagian juga meminta dijadwalkan rapat dengar pendapat (RDP) untuk mediasi kewajiban plasma 20 persen.
”Kita sampaikan ke pemerintah daerah persoalan plasma 20 persen ini, karena saya melihat arus tuntutan masyarakat mulai terjadi secara bergelombang dari wilayah utara sampai wilayah lainnya. Plasma 20 persen ini sejatinya merupakan kewajiban dan mengacu kepada ketentuan yang ada di Permentan, Peraturan ATR/BPN, dan Permen LHK,” katanya. Ketua Fraksi PKB DPRD Kotim Muhammad Abadi memastikan sejumlah desa akan melakukan aksi unjuk rasa serentak dalam bulan ini. Mereka tersebar di beberapa wilayah, seperti Kecamatan Antang Kalang, Mentaya Hulu, Telawang, dan kecamatan lainnya. ”Yang saya katakan bom waktu mengenai tuntutan plasma ini sudah tiba waktunya, karena sejak saat saya sampaikan persoalan tuntutan plasma disepelekan. Masyarakat sekarang merasa harus ada aksi nyata. Pemerintah daerah selama ini gagal memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakatnya. Akibatnya, aksi demo dianggap jalan satu-satunya yang harus dilakukan,” ujarnya.
Selama ini, kata Abadi, masyarakat ketika dimediasi di tingkat pemerintah, selalu kalah dan dianggap merongrong perusahaan. Dari beberapa masalah yang dimediasi, tuntutan realisasi plasma tidak pernah terlaksana. ”Makanya jangan heran aksi unjuk rasa plasma ini terjadi di mana-mana, karena aspirasi itu dianggap sepele dan tidak pernah diselesaikan,” tegas Abadi.
Persoalan plasma itu sebelumnya telah dibahas panjang dalam sosialisasi peraturan terkait kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat di Palangka Raya pada 26 Oktober lalu. Kegiatan itu dihadiri Direktorat Jenderal Perkebunan RI, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pusat, Gapki Kalteng, Dinas Perkebunan Kalteng, dan sejumlah pihak lainnya. Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kalteng Leonard S Ampung mengatakan, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan beserta turunannya, diharapkan mengakomodir kebutuhan seluruh pemangku kepentingan guna menjamin iklim investasi yang baik.
Leo menuturkan, jangan ada lagi multitafsir dalam menjalankan aturan. Sebab, aturan itu harus dijalankan lantaran berpihak kepada masyarakat terkait plasma 20 persen. ”Pemerintah menginginkan agar masyarakat sekitar terayomi. Maka itu dilakukan sosialisasi, biar tak ada lagi konflik. Artinya, semua pihak sepakat dalam satu persepsi terkait 20 persen plasma,” katanya. Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gapki Pusat Aziz Hidayat mengatakan, Gapki siap mengikuti aturan dan menyosialisasikannya pada anggota Gapki di Indonesia. Termasuk kepada pemerintah untuk memfasilitasi aturan 20 persen. ”Aturan itu harus ada harmonisasi, makanya langkah sosialisasi ini menyamakan persepsi. Artinya, semua pihak terkait satu pemahaman, biar iklim usaha berjalan lancar dan ada kepastian hukum. Kata kuncinya fasilitasi, baik itu pola kredit, bagi hasil, dan bukan semata-mata membangun kebun,” sebutnya.
Aziz menekankan, Gapki sangat konsen dalam mencari solusi membangun Kalteng lebih baik. Karena itu, harus ada fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Namun, jika tidak ada kebun, difasilitasi usaha produktif, pola bagi hasil, dan tidak harus ditanami sawit. ”Jika masyarakat ingin melakukan pengelolaan sapi atau perikanan, bentuk plasma 20 persen tersebut bisa diwujudkan. Kami juga masih menunggu penetapan nilai optimum produksi untuk acuan perusahaan wajib memberikan fasilitas bagi masyarakat,” ujarnya.
Aziz menambahkan, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat hanya diberikan satu kali. Misalnya, kebun punya 10 hektare, maka kewajiban plasma 20 persen dan ditentukan dengan nilai optimum yang ditentukan masyarakat. Penggunaannya ditentukan sesuai kesepakatan bersama dengan sistem kemitraan. ”Tergantung perusahaan berapa tahun pemberiannya. Makanya, kami minta juga agar semua perusahan masuk Gapki untuk lebih memudahkan koordinasi,” kata mantan Ditjen Perkebunan Kementan ini. (ang/ign)