UMUMNYA, cita-cita seseorang dipengaruhi lingkungan dan latar belakang keluarga. Ada juga yang sudah terlihat dari bakat sejak kecil. Pun ada pula dari hobi menjadi ketertarikan, dan akhirnya mengispirasi.
Dia,memang tak terlahir dari lingkungan berlatar belakang polisi. Bahkan, tak pernah tercetus ingin jadi aparat penegak hukum. Tapi siapa sangka, kini dia justru menjabat posisi penting dalam bidang keamanan. Sekarang pria itu berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi, dan menjabat sebagai Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Timur.
AKBP Hendra Wirawan, SH, S.I.K, lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 12 Agustus 1974. Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pria ini mengaku tak pernah mengagungkan profesi polisi saat kecil. Tapi setidaknya, diakuinya, dia mulai tertarik dengan dunia kedektektifan, saat remaja.
Hendra remaja bersekolah di SMA taruna di Semarang, Jawa tengah. Saat inilah, mula ketertarikannya dengan dunia detektif. Dia menjadi hobi menonton dan membaca buku tentang detektif. Tanpa disadarinya, logikanya justru terasah. Sehingga memantapkan diri untuk memperdalamnya.
”Saya berjuang keras untuk belajar dan bertanya kepada yang sudah pernah lulus tes. Logika-logika di film dan buku detektif yang saya baca ternyata berguna saat tes,” ungkapnya, saat dibincangi Radar Sampit , di ruang kerjanya.
Keinginan Hendra, bukan tanpa kendala. Orangtuanya justru menginginkan dia menempuh pendidikan di bidang pemerintahan. Namun dia bersikeras, untuk menjadi polisi. ”Pada saat lulus sekolah Taruna saya diminta ayah saya untuk sekolah di pemerintahan,” katanya.
Tahun 1997, Hendra lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (dulu pendidikan ABRI dan Polri jadi satu). Dia pun langsung bertugas di Jawa Tengah, selama empat tahun. Kurun itu terbilang cukup lama bagi Hendra, bertugas di satu daerah. Karena biasanya selalu berpindah. Tapi keluar dari lingkup wilayah Jawa Tengah. Bertugas paling singkat di Mabes Polri hanya selama satu tahun.
---------- SPLIT TEXT ----------
Pengalaman yang paling berkesan, menurutnya selama bertugas jadi seorang polisi, saat bertugas selama tiga tahun menjadi staf teknis Polri di Konsulat Jendral Republik Indonesia LO Polri di Kuching, Malaysia. Di wilayah tersebut masalah yang paling sering ditanganinya yakni masalah TKI. Dirinya pernah mengagalkan kasus perdagangan manusia di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut.
”Pada awal saya bertugas di sana saat saya berjumpa dengan orang Indonesia saya selalu membagikan kartu nama saya, dan saya bilang kalau ada masalah selama di Malaysia tolong hubungi saya. Kebetulan dari kartu nama yang saya sebarkan ada yang nyangkut sms saya. Pada saat itu ada tiga orang Indonesia disekap ingin dijadikan wanita penghibur. Saat ditelusuri bersama dengan kepolisian di sana ternyata benar mereka ingin diperdagangkan, berkat informasi tersebut kami berhasil mengagalkannya,” ujarnya.
Selain itu, bertugas sebagai Kanit Resmum, di Semarang. Dirinya pernah menangani pertama kali bom curat pada tahun 2000. Dan saat bertugas di Kalimantan Selatan, sebagai KABAGDALPERS SDM tugasnya sebagai rekrutmen polisi. Di sana, pintu gerbang seseorang yang ingin menjadi seorang polisi.
”Di situlah diuji bagaimana polisi ke depannya. Baik kita sebagai rekrutmen maka hasilnya juga akan baik. Pada posisi tersebut cukup banyak celah yang sering dimanfaatkan penembak di atas kuda (istilah calo polisi) Sebenarnya mereka tidak memiliki kompeten untuk meluluskan tapi mereka menjual nama untuk menjanjikan lulus,” terangnya.
Diakuinya yang sering memanfaatkan jalur tersebut adalah orang-orang yang tidak berkompeten tidak memiliki kemampuan. Tapi, ingin jadi polisi. Maka sering kali menghalalkan berbagai cara. Jika dari panitia penerimanya tidak memangkas orang seperti itu maka ke depan akan semakin bobrok citra polisi di mata masyarakat.
”Saya cukup banyak ditawarkan dijanjikan berbagai macam hal. Tapi saya tetap ingin menjaga amanah ingin ke depanya SDM yang dimiliki polisi benar-benar mumpuni. Dan membawa citra polisi jauh lebih baik. Sudah jelas pasti yang ingin lolos dengan imbalan pasti memiliki kekurangan, maka saya tidak ingin yang memiliki kekurangan jadi polisi karena akan mempengaruhi kualitas polisi,” ceritanya.
Setelah bertugas di Kalsel selama 2,5 tahun, pindah tugas ke Kotim menjadi Kapolres dan sudah satu tahun menjalani sebagai pemimpin keamanan wilayah Kotim. Kasus yang menurutnya sulit untuk diungkapkan dan memerlukan waktu lama di Kotim yakni kasus sengketa lahan yang tumpang tindih. Kasus tersebut sering kali melibatkan banyak instansi sehingga memerlukan waktu penyelesaian yang lama . Ke depan dia berharap, polisi lebih dekat dengan masyarakat dan menjadi garda terdepan dalam pengamanan masyarakat. (dc/ oes)