SAMPIT - Persaingan sekolah negeri dan swasta di Kabupaten Kotawaringin Timur dalam penerimaan peserta didik baru memberi dampak tidak sehat. Beberapa sekolah swasta mengaku mengalami penurunan peminat siswa baru. Bahkan diantaranya hanya ada mampu menjaring satu siswa baru.
Saat Radar Sampit (sampit.prokal.co)mendatangi SMP Miftahuttaqwa di Jalan Muchan Ali, Gg Attarbiyah Sampit, kemarin pagi miris terlihat. Ruangan yang cukup besar hanya ada satu siswa dan satu guru. Potret itu seakan tak mencerminkan suasana ruang belajar. Dimana notabenenya banyak dipenuhi meja, kursi dan siswa.
Meski hanya belajar seorang diri tak memengaruhi proses belajar mengajar. Guru perempuan berjilbab tetap menjalankan tugasnya mentransfer ilmu kepada satu-satunya peserta didik di sekolah itu.
Salah seorang staf di sekolah tersebut yang enggan di korankan namanya mengaku penurunan peminat siswa baru sudah beberapa tahun terjadi. Apalagi, katanya sejak, sekolah negeri melakukan permintaan penambahan kuota. Seperti yang terjadi pada penerimaan siswa baru tahun ini.
“Penambahan kuota di sekolah negeri berimbas ke sekolah kami. Masyarakat pasti lebih memilih sekolah yang lebih bagus terlebih dahulu, jadi kami cuma dapat sisanya,” ucapnya.
Tahun ini sekolahnya hanya mendapatkan dua siswa baru. Namun salah seorang siswa belum ada kejelasan kabarnya apakah jadi bersekolah.
“Informasinya masih mengurus berkas. Sementara ini hanya ada satu siswa yang resmi mengikuti proses belajar mengajar,” katanya.
Ditambahkannya, sejak tahun 2000-an peminat siswa baru untuk masuk ke sekolah ini terus mengalami penurunan. Disadari, persaingan dengan sekolah negeri cukup ketat. Dengan fasilitas yang seadanya untuk menggaet siswa baru cukup berat. Karenanya, kata dia, sekolah hanya kebagian siswa yang tidak masuk ke sekolah negeri.
“Dana BOS yang diterima hanya cukup untuk membayar tenaga honorer dan membeli perlengkapan sekolah. Tidak akan cukup untuk membangun gedung baru serta fasilitas penunjang pendidikan lainnya,” keluhnya.
Pemerintah daerah sendiri seakan tutup mata. Berada di bawah naungan yayasan, menjadi faktor sulitnya mendapatkan bantuan untuk merenovasi bangunan sekolah. Tapi menurut pengakuannya, sekolah tersebut sudah berada dibawah naungan Disdik hanya namanya saja yang yayasan. Terlebih lagi sejak kepala yayasan meninggal dunia, sekolah tersebut semakin tidak terurus. Untuk memungut uang bangunan atau sumbangan dari murid pun tidak mungkin, karena hampir semua murid di sekolah tersebut berasal dari keluarga yang kurang mampu.
”Jangankan untuk sumbangan, untuk masuk sekolah ini saja sudah kami gratiskan. Siswa hanya perlu membanyar uang OSIS selama satu tahun dan seragam sekolah sebesar Rp. 600 ribu, itupun bisa dicicil. Itu juga ada yang cicilannya belum lunas sampai kenaikan kelas, tapi masih kami maklumi. Tetap saja peminat untuk sekolah ini sedikit,” imbuhnya.
Saat ini total jumlah siswa di SMP Miftahuttaqwa tercatat ada 13 orang. Di kelas 7 ada 1 siswi, untuk kelas 8 ada 3 siswa, dan kelas 9 nya ada 9 siswa. Selain dana BOS, pemasukan sekolah tersebut hanya berasal dari biaya OSIS sebesar Rp 25 ribu per siswa, yang dibayarkan setiap bulannya. Dengan jumlah siswa yang sedikit dan pungutan OSIS yang tidak seberapa, tentu pemasukan tersebut tidak akan cukup untuk merenovasi bangunan sekolah.
”Ini juga menjadi dilematis bagi kami, kalau sekolah ini di tutup kasihan juga warga sekitar sini yang kebanyakan dari keluarga tidak mampu. Kemana lagi mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka,”ujarnya.
---------- SPLIT TEXT ----------
Ia hanya bisa berharap adanya bantuan, baik dari Disdik atau siapapun yang bersedia menjadi donatur. Jika ada yang ingin menyumbangkan tanah kosong, mungkin sekolah ini bisa dipindah ketempat yang lebih strategis. Karena sekarang lokasinya berada didalam gang, dengan pindah lokasi masyarakat jadi lebih banyak yang tau dan mungkin akan menarik minat mereka. Jika tidak bisa, minimal ada bantuan bangunan agar memperbaiki kondisi sekolah saat ini. Dan untuk kuota penerimaan siswa baru, diharapkan setiap sekolah mematuhi pembagian kuota yang sudah ada.
”Pembagian juga harus disesuaikan agar sekolah swasta juga kebagian murid, jangan semuanya diambil oleh sekolah negeri dan swasta cuma dapat sisanya,”tandasnya.
Kondisi serupa juga terjadi di MTs Swasta Nurul Ummah Jalan Suprapto Sampit. Sekolah tersebut mendapat jatah 2 rombongan belajar (rombel) atau setara dengan 72 siswa, tapi jumlah siswa baru yang didapatkan hanya 10 orang. Padahal bangunan dan fasilitas di sekolah tersebut cukup memadai, apalagi dengan akreditasi B yang mereka terima seharusnya sudah cukup untuk memenuhi standarisasi sekolah yang baik.
”Kami sudah berusaha untuk mempromosikan sekolah ini melalui medis sosial, pembagian angket ke sekolah dasar dan di lampu merah. Untuk fasilitas sekolah kami juga cukup memadai, bahkan bisa dikatakan diatas rata-rata sekolah. Ruang kelasnya sudah dikeramik luar-dalam dan untuk kebersihannya juga sudah cukup baik, sedangkan sekolah lain masih banyak yang menggunakan bangunan kayu. Tapi ternyata memang peminatnya untuk sekolah disini sedikit,” kata Siti Khadijah, Wakil Kepala di MTs Nurul Ummah.
Meski begitu, ia mengaku tidak ingin terlalu menanggapi isu sekolah negeri yang menambah kuota penerimaan siswa baru. Pihaknya memilih untuk tetap fokus dalam meningkatkan kualitas sekolah dan mempromosikan kepada masyarakat. Ia hanya bisa berharap para orangtua agar tidak berorientasi untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah negeri saja. Karena sekarang sudah banyak sekolah swasta yang tidak kalah bagusnya dengan sekolah negeri. (vit/ton)