SAMPIT- Muhammad Risky harus hidup menderita sejak mengenal dunia. Balita itu lahir tanpa anus. Meski tak seperti manusia normal, anas pasangan Anjas (43) dan Robbiyatin (45) ini tetap bertahan hidup hingga umurnya menginjak dua tahun enam bulan.
”Dulu sewaktu lahir, dia langsung kami bawa pulang ke rumah. Awalnya kami tidak curiga, tapi setelah tiga hari berlalu, dia tidak juga BAB (buang air besar). Setelah diperiksa ternyata lubang anusnya tidak ada,” tutur Robbiyatin (45), ibu dari Muhammad Risky, Senin (5/9).
Melihat keadaan demikian, warga Jalan Plantan 3 nomor 24 ini langsung merujuk anaknya ke RSUD dr Murjani Sampit. Saat itu Risky sempat diopname selama tiga hari. Karena tak ada alat untuk menangani penyakitnya, Risky harus dibawa ke Palangka Raya. Untuk pertama kalinya balita itu dioperasi. Ususnya dikeluarkan agar bisa BAB.
”Setelah operasi selesai, kami diberitahu dokter untuk banyak berdoa. Dokter mengatakan, anak saya mungkin akan koma sekitar 25 hari dan kemungkinan selamatnya kecil. Alhamdulillah, ternyata dia hanya koma selama lima hari dan masih bertahan hidup sampai sekarang. Saya sebagai orangtuanya sangat bersyukur,” ujarnya.
Setelah sukses operasi yang pertama, Risky kembali harus dioperasi di Banjarmasin beberapa waktu setelahnya. Operasi kedua dilakukan untuk membuat lubang anus. ”Kami ke Banjarmasin karena dokter bedah yang di Palangka Raya waktu itu sudah pindah ke Jakarta. Jadi, anak kami dirujuk ke Banjarmasin,” kata Robbiyatin.
Menurut Robbiyatin, anaknya kembali harus menjalani operasi yang ketiga. Operasi itu untuk memasukkan kembali ususnya yang keluar, supaya disambungkan ke lubang anusnya. ”Sebenarnya saya itu tidak tega kalau sudah mau operasi. Soalnya dia (Risky, Red) harus puasa. Puasanya itu dari jam dua malam sampai jam sepuluh pagi,” ujarnya
Robbiyatin mengungkapkan, dalam merawat anaknya sehari-hari, dia menggunakan perban, lem, tisu, popok, dan obat salep. Benda itu digunakan untuk menutupi usus anaknya yang keluar, sekaligus wadah kotoran. Salep dia gunakan di pinggir usus agar tidak gatal-gatal.
”Sebenarnya untuk wadah kotorannya itu ada plastik khusus yang dijual di apotik. Hanya saja harganya sangat mahal, yaitu Rp 125 ribu per bungkus dan plastik ini sekali pakai. Bayangkan saja, kalau seandainya sehari lima kali BAB, berapa biaya yang dikeluarkan. Saya tidak sanggup, apalagi kerjaan suami saya hanya seorang tukang bangunan. Makanya saya cari cara lain, ya yang seperti ini,” ujar Robbiyatin.
Menurut Robbiyatin, ia sebenarnya harus mengontrol kondisi anaknya sebulan sekali ke Banjarmasin. Hanya saja, karena keterbatasan biaya, hal itu tak bisa dilakukan. ”Kalau ada rezeki saja saya bisa bawa dia ke sana. Kalau tidak ada, ya di rumah saja,” tutur Robbiyatin.
Saat operasi pertama Robbiyatin mengaku menggunakan biaya sendiri. Setelah selesai operasi tersebut, pihak rumah sakit menyarankan agar anaknya diikutkan BPJS. Setelah ikut BPJS, biaya operasi sekarang gratis. Hanya saja untuk biaya lain, seperti menebus obat dan semacamnya, masih menggunakan biaya sendiri. Padahal, biaya obat cukup mahal.
”Saya sih berharap dapat bantuan, supaya anak saya cepat dioperasi. Memang biaya operasinya gratis, tapi biaya untuk nebus obat itu yang mahal. Karena biasanya kalau setelah operasi, dia harus nginap dulu. Biasanya sewaktu nginap diberi obat. Obatnya ini yang mahal, satu botol kecil saja bisa sampai Rp 2,5 juta,” tandasnya. (rm-76/ign)