SAMPIT – Titik panas atau Hotspot disebutkan kembali muncul di Kabupaten Kotawaringin Timur. Kemunculan hotspot ini merupakan yang pertama sejak beberapa bulan terakhir setelah Kotim dinyatakan aman dari potensi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
”Hari Selasa lalu ada muncul 12 hotspot. 10 di Antang Kalang dan 2 di Bukit Santuai. Yang pasti karena belum ada laporan dari pihak kecamatan dengan kami. Apalagi sekarang posko karhutla sudah dibubarkan dan dikembalikan ke instansi masing-masing, jadi kami masih belum turun ke lapangan,” ucap Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)Kotim, Sutoyodikantornya baru-baru tadi.
Dirinya menyebutkan, meskipun hotspot kembali muncul beberapa waktu lalu, kemunculannya bukan berarti menandakan adanya lahan yang terbakar. Sebab hotspot yang terdeteksi bisa saja disebabkan oleh atap rumah atau pabrik yang terbuat dari sejenis seng yang terpapar panas berlebih.
Untuk potensi kebakaran lahan yang disebabkan oleh alam sendiri, Sutoyo menyebutkan kemungkinannya rendah. Sebab pada tahun ini, Indonesia mengalami musim yang disebut kemarau basah. Sehingga meskipun cuaca panas, kemungkinan hujan turun juga tinggi.
”Jadi, kalaupun ada kebakaran,kemungkinan itu terjadi karena ulah pembakar. Karena dalam beberapa hari dalam seminggu, hujan pasti ada turun. Sehingga jika sampai ada lahan yang terbakar sendiri itu, saya rasa tidak mungkin,” imbuhnya.
Menurutnya, kebakaran lahan yang disengaja, bisa saja terjadi akibat peladang yang membersihkan lahannya. Sebab di Kalimantan ini, pada umumnya memiliki kebiasaan turun menurun untuk membersihkan lahan dengan cara membakar.
Untuk menindaklanjuti kebiasaan itulah, pihaknya dari BPBD melakukan sosialisasi sejak awal tahun kepada masyarakat untuk menghentikan lebiasaan membakar untuk membersihkan lahan. Sebab ditakutkan akan terjadi kemungkinan bencana asap seperti ynag terjadi tahun lalu. Selain itu, mereka juga menyampaikan agar masyarakat dapat mengubah cara berkebun mereka dan tidak lagi berorientasi pada luas lahan yang harus digarap.
”Lahan itu tidak perlu luas yang peting kebunnya penggarapannya maksimal. Dengan menggunakan bibit yang baik dan berkualitas serta penggunaan pupuk yang benar. Dengan kebun yang tidak terlalu luas, otomatis biaya pembersihannya lebih ringan. Karena yang diharapkan sebenarnya kan bukan luas, tetapi hasil dari kebun itu. Untuk apa luas kalau tidak terawat dan hasilnya tidak maksimal?” pungkas Sutoyo. (sei/gus)