SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Kamis, 10 November 2016 17:07
Menggerakkan Roda Musik, Ajarkan Menghargai Kepercayaan

Menjadi ‘Pahlawan’ di Masa Kini

PAHLAWAN MASA KINI: Aris Kelana berjuang untuk musik Kotawaringin Timur. Sementara Tiel Dagan, dengan ikhlas menjaga Gedung Wanita Sampit sebagai bentuk pengabdian bagi daerah. (IST/RADAR SAMPIT)

MEREKA  berjuang di jalan masing-masing. Mereka bergerak dan menebar inspirasi. Mereka adalah ‘pahlawan’ masa kini.

SERA DIYA-DEVITA M, Sampit

Aris Kelana memilih jalan musik. Menjadikan Kotim barometer dunia tersebut di Kalteng. Dia tumbuh bersama Gasspiero Gyrass. Bersama rekan-rekannya, pria asal Jawa Timur itu memboyong banyak prestasi dari festival di Jawa dan Bali.

Aris mulai memperhatikan Kotim saat Gasspiero Gyrass mulai vakum. Pada 1997, dia menjuri festival musik di Kotim. Dia pun menyimpulkan dunia musik di Kotim berputar lambat. ”Karena saya lihat perkembangan musik di sini lambat, saya putuskan menetap di sini (Kotim),” ucapnya.

Di Sampit, dia kembali memulai dari nol. Aris mendirikan Republik Musisi Sampit (Remusa). Perkumpulan itu untuk mewadahi musisi-musisi Sampit yang tercerai berai. Kondisi ini disebabkan bubarnya perusahaan yang biasa merekrut para musisi lokal. Akibatnya, mereka ibarat ayam kehilangan induk.

Remusa menjadi titik balik. Dunia musik Kotim menanjak. Event digelar dengan frekuensi cukup sering. Studi banding pun dilakukan demi pengembangan permusikan di Kotim.

Aris juga menggempur para musisi muda di Kotim dengan teori-teori. Mulai dari pembacaan not balok, partitur, dan teknik-teknik lainnya.

”Saat ini pemusik di Sampit sudah ada basic yang lumayan, mereka tidak lagi otodidak. Beda dengan dulu yang langsung main saja tanpa teori, sekarang praktik dan teori bisa menjadi satu,” jelasnya.

Perjuangannya tak sia-sia. Di tahun-tahun Remusa berdiri, Kotim mulai menunjukkan peningkatan kualitas. Hingga awal 2000-an, Kotim sempat menjadi barometer musik di Kalteng.

”Kabupaten seperti Kobar, Kapuas, Palangka Raya, bahkan musisi dari Banjarmasin datang ke sini untuk ikut event musik yang diadakan,” ujarnya.

Sayangnya, gaung itu tak terdengar lama. Terus menunjukkan penurunan. Meski tidak menghilang, Aris menyebut perkembangan musik di Kotim mengendur. Padahal semangat musisi dan anak-anak muda yang ingin belajar masih tinggi.

Tanda-tanda turunnya aktivitas permusikan di Kotim adalah berkurangnya event-event yang digelar. Perhatian dari berbagai pihak tak lagi tampak. Fasilitas-fasiltas terbatas, seakan tak lagi dipedulikan. Padahal, Aris menyebutkan, dulunya Kotim bahkan memiliki sekolah musik. Tapi saat ini, jangankan fasilitas, sekadar dukungan pun tak lagi ada.

”Di kotim sendiri permusikan mulai harus dibangkitkan lagi dan hal ini pun tidak terlepas dari kepedulian Pemkab Kotim. Apalagi Pak Bupati senang musik, dan beliau seorang vokalis juga. Karena dalam perkembangan musik, tidak mungkin kita bergerak seorang diri tanpa ada dukungan dari pemerintah daerah,” tegasnya.

Aris menyebutkan bahwa musisi di Kotim tidak mengharapkan suntikan dana, tetapi yang diperlukan adalah perhatian. Terutama fasilitas yang bisa mewadahi pergerakan musik.

”Kita saat ini terlalu bergantung pada EO. Kalau EO tidak ada acara, maka tidak ada kegiatan. Kalau dulu nggak ada acara, kita bikin sendiri tanpa bergantung sponsor dan EO. Menurut saya, selama ada kedekatan dengan berbagai pihak di Kotim ini, kita bisa mempertahankan status sebagai barometer permusikan,” pungkasnya.

Jika Aris memilih dunia musik untuk diperjuangkan, tidak dengan Tiel Dagan. Dia mengabdi dengan cara sederhana; menjaga Gedung Wanita di Sampit. Dengan pendapatan tak seberapa, dia menginspirasi semangat juang. Kerja keras pria 78 tahun itu mengantarkan anaknya hingga ke jenjang pendidikan S-2. 

”Saya benar-benar merasa hidup ini adalah anugerah dari Tuhan. Saya tidak menyangka bisa menyekolahkan anak kuliah sampai S-2 dan bisa bangun rumah. Padahal kalau dilihat-lihat saya termasuk pegawai rendahan,” ujarnya.

Tiel pun menceritakan perjalanan hidupnya. Pada 1957, sebelum menjadi penjaga gedung, ia bekerja sebagai staf di Dinas Kesehatan. Pertama bekerja, Tiel digaji Rp 7. Tergolong kecil zaman itu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia mencari kerja sampingan.

Pada 1990, ia mulai ikut menjaga Gedung Wanita. Awalnya hanya ingin membantu istrinya yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di tempat itu. Karena bukan berstatus sebagai pekerja, maka ia pun tidak menerima gaji dari pengelola gedung. Tapi semua itu memang dilakukan hanya untuk meringankan beban sang istri.

Lima tahun berselang, Tiel pensiun dari pekerjaannya di Dinas Kesehatan, dan secara resmi ditunjuk sebagai penjaga gedung menggantikan istrinya. Waktu itu gajinya hanya Rp 17 ribu per bulan. Meski kecil, tapi ia tetap bekerja dengan tulus dan ikhlas. Dengan kesabaran dan ketekunannya dalam bekerja, gajinya pun mulai naik, hingga sekarang mencapai Rp 2 juta.

”Pekerjaan itu jangan melihat dari gajinya, tetapi menghargai kepercayaan yang telah diberikan orang ke kita. Kalau kita bekerja dengan tulus, ikhlas, dan niat untuk membantu orang, kerja seberat apapun akan terasa ringan,” ungkap Tiel.

Tiel mengaku menyukai pekerjaannya. Dia bisa bergaul lebih luas, berkenalan dengan siapa saja yang menyewa gedung tersebut. Selain itu Tiel yang gemar membantu orang lain ini.

Bekerja sebagai penjaga gedung tidak mengenal waktu, siang-malam sesuai permintaan penyewa gedung. Saat tidak ada yang menggunakan gedung, ia akan memanfaatkan waktu tersebut untuk bersih-bersih dan menyiapkan segala sesuatu, agar ketika ada acara gedung tersebut sudah siap digunakan.

”Setiap pekerjaan pasti ada susah senangnya. Saya sudah betah dengan pekerjaan saya. Makanya tidak berniat mencari pekerjaan lain, berapa pun yang saya terima dari hasil menjaga gedung itulah yang saya manfaatkan sebaik mungkin,” ucapnya.

Pengabdian Tiel pun berbuah manis. Meskipun tidak seberapa, sedikit demi sedikit ia menyisihkan uang untuk menyekolahkan anaknya. Tiel mempunyai tiga anak. Yang pertama hanya lulus SMA lantaran segera memutuskan menikah. Yang kedua lulus S-2 di UGM, sempat bekerja sebagai dosen dan sekarang menjadi PNS. Yanag terakhir lulusan D-3 di UGM dan sekarang menjadi pengusaha.

Di mata istri dan anak-anaknya, Tiel merupakan sosok pahlawan keluarga yang rela bekerja keras demi kesejahteraan keluarga. Tapi bagaimana kan pandangan Tiel terhadap sosok pahlawan sendiri?

Ada dua tipe pahlawan menurut Tiel. Pertama adalah mereka yang berjuang di zaman penjajahan dan bertempur melawan peluru musuh. Berjuang tanpa pamrih merebut kemerdekaan, tua maupun muda bersatu mengusir penjajah. Yang kedua adalah mereka yang meneruskan perjuangan para pejuang terdahulu dengan membangun negara ini agar lebih maju.

”Kalau mau jadi pahlawan sekarang itu tidak perlu angkat senjata seperti zaman dulu, cukup meneruskan kemerdekaan yang diraih para pejuang dengan terus membangun negara demi kesejahteraan masyarakat. Tapi sayangnya sekarang ini sangat sedikit yang seperti itu, kebanyakan saling mementingkan diri masing-masing,” ujar dia.

Selain itu, menurutnya, masyarakat sekarang sulit diatur. Semua lebih mengutamakan hasil pemikiran masing-masing. Peraturan pemerintah justru banyak yang ditentang, masyarakat tidak mau mematuhi malah ingin mengatur pemimpinnya.

Ia berharap ke depannya para pemuda-pemudi lebih peduli terhadap perkembangan bangsa. (***/dwi)

 

 


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers