SAMPIT – Masalah pungutan di dunia pendidikan dinilai bagai buah simalakama. Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli mengaku serba salah menyikapi masalah itu. Sebab, ada berbagai pertimbangan pungutan di sekolah terpaksa dilakukan, Di satu sisi, jika masyarakat yang akan diberatkan.
”Di satu sisi kita memang kekurangan anggaran untuk proses belajar mengajar yang tidak bisa dicukupi keseluruhannya dari dana pemerintah, sehingga akhirnya komite mengambil langkah menarik uang. Di sisi lain, hal ini memberatkan masyarakat,” katanya, baru-baru ini.
Jhon menuturkan, sebenarnya sekolah mendapatkan dana alokasi khusus (DAK) berupa bantuan operasional sekolah (BOS) untuk membiayai keperluan sekolah. Selain itu, pemkab juga telah menganggarkan dana operasional melalui BOSDA dari APBD. Tetapi, hal itu belum mencukupi.
Untuk membantu pelajar tingkat SMP saja, setidaknya perlu Rp 500 ribu per orang satu bulannya. Jika dijumlahkan, selama setahun diperlukan Rp 6 juta per murid sebagai bantuan untuk membiayai proses belajar mengajar, eksrakurikuler, dan sebagainya.
”Dari pemerintah pusat hanya mampu memberi dana BOS itu sekitar Rp 780 ribu per tahun, sementara dari APBD kita hanya mampu memberi Rp 260 ribu per tahun. Jadi, dari pemerintah digabung hanya bisa memberi Rp 1 juta per anak per tahunnya,” jelasnya.
Kekurangan itulah, lanjut Jhon, yang membuat sekolah menarik uang komite. Namun, jika dilihat secara mendalam, tambahan biaya operasional sekolah lainnya memang diperlukan selain yang dibayarkan melalui BOS.
”Uang BOS digunakan untuk membayar berbagai tagihan, seperti telepon, listrik, PDAM, dan lain-lain yang dikeluarkan pihak sekolah dalam proses belajar mengajar. Tapi, untuk membayar hal-hal lainnya, memang kurang berdasarkan pengamatan saya sealama beberapa tahun ini,” ungkapnya.
Dalam proses belajar mengajar, lanjut Jhon, perlu subsidi silang antara yang mampu dan tidak mampu. Misalnya, dalam pembayaran iuran komite, besarannya dibedakan berdasarkan penghasilan orang tua.
”Jadi, yang mampu uang komitenya berbeda, agak besar sedikit berdasarkan penghasilan orang tua. Kalau gaji orangtuanya di atas beberapa juta, uang komitenya sekian. Sementara yang penghasilannya di bawah satu juta, tidak dikenai uang komite. Paling terkesil penghasilan orangtuanya itulah yang dibiayai pemerintah daerah nantinya,” ujarnya.
Selain menerapkan subsidi silang, sebelumnya Jhon juga menyebut, untuk membedakan pungutan pendidikan berupa pungli atau bukan, perlu dibuat aturan dan ketetapan. Misalnya, dalam wujud peraturan bupati (perbup).
Kalau aturannya dibuat, kata Jhon, pemungutan uang komite berdasarkan subsidi silang tidak akan dianggap pungli. ”Karena itu, bupati perlu membuat perbup untuk mengatur itu, terutama besaran uang komite dan dana yang diperbolehkan dipungut. Kalau hal itu sudah diatur, apabila ada yang melenceng dari aturan, artinya pungli,” katanya.
Terima Laporan
Sementara itu, di DPRD Kotim juga mulai ada laporan soal pungutan di salah satu sekolah di kawasan Baamang. SMA ternama itu dinilai melkakukan pungutan di luar kewajaran, yakni sebesar Rp 2,5 juta. Padahal, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran sudah mewanti-wanti sekolah untuk memungut biaya.
”Iya, ada laporan dari masyarakat. Tapi, saat ini tengah kami perdalam.” kata Dadang H Syamsu, anggota Komisi III DPRD Kotim yang membidangi pendidikan.
Dalam salah satu bukti laporan itu, pos iuran wajib yakni biaya komite Rp 75 ribu, OSIS Rp 300 ribu, sumbangan HUT sekolah Rp 100 ribu, sumbangan kurban Rp 25 ribu, sumbangan perpisahan Rp 50 ribu, buku merah Rp 20 ribu, kartu perpusatakaan Rp 10 ribu, kartu pelajar Rp 15 ribu, buku rapor Rp 15 ribu. Untuk pakaian seragam dan kelengkapannya Rp 1,69 juta.
“Makanya ini juga perlu diperjelas. Nanti coba ditelusuri lagi karena ini ada kata diwajibkan, Padahal, dari sisi aturan sudah jelas tidak boleh dipaksanakan tarif jika memang ada sumbangan,” tegas Dadang. (sei/ang/ign)