SAMPIT – Pendidikan menjadi lahan basah bagi sejumlah oknum. Berbagai modus dilakukan untuk mengeruk keuntungan, salah satunya dengan menjadikan les sebagai bisnis. Modusnya, pelajar dikenakan tarif tertentu yang besarannya mencapai ratusan ribu. Hal tersebut kini mulai dikeluhkan orangtua peserta didik.
Salah satu orangtua murid yang meminta namanya tak disebutkan, mengungkap, anaknya mengikuti les dengan biaya cukup besar, yakni mencapai Rp 200 ribu per bulan. Meski tak ada diwajibkan untuk ikut, namun anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar ini terpaksa mengikuti untuk menghindari konsekuensi yang mungkin muncul nantinya.
”Les ini membuat adanya diskriminasi terhadap siswa yang tidak ikut les itu oleh oknum guru tersebut, baik dari sisi nilai hingga pemberian materi pelajaran di sekolah,” katanya, kemarin (12/7).
”Bagi kami yang memberatkan itu adalah biaya. Bayangkan saja, dalam sebulan kami harus membayar Rp 200 ribu. Bahasanya guru memang tidak diwajibkan, tapi dalam praktiknya akan muncul diskriminasi kepada siswa yang tidak ikut,” tambahnya.
Dia menuturkan, dalam setiap kelas rata-rata terdiri dari 30 siswa. Apabila dipatok Rp 200 ribu, maka dalam sebulan bisa menghasilkan Rp 6 juta. ”Bayangkan saja, satu bulan guru dapat Rp 3 juta sampai Rp 6 juta. Ini menjadi salah satu penyebab kenapa orangtua siswa banyak mendukung sekolah full day, supaya tak ada lagi bayar-bayar les,” katanya.
Orangtua murid ini menambahkan, setiap ulangan umum semester atau tengah semester, soal yang dikeluarkan guru berkutat pada materi yang diberikan saat les. Hal itu dinilai tidak adil bagi siswa yang tidak memilkiki kemampuan finansial untuk ikut les tersebut. Kebanyakan murid tidak ikut karena terkendala biaya.
”Persoalan utamanya soal tarif. Belakangan ini cenderung kami lihat bahwa sekolah jadi ajang bisnis, tidak lagi sejalan dengan semangat awalnya mencerdaskan murid,” ujarnya.
Dia menuturkan, sebenarnya banyak orangtua yang mengeluh, namun tidak berani menyampaikan secara terbuka. Mereka khawatir jika hal itu dilakukan, bisa berimplikasi pada anak mereka.
”Kasihan siswa yang tidak mampu. Orangtua siswa yang mampu pun mungkin banyak tak ikhlas dengan cara seperti itu, tapi takut protes. Apalagi melapor, karena pasti berdampak pada perlakuan guru terhadap anaknya,” katanya. (ang/ign)