SAMPIT – Perilaku oknum pendidik yang disinyalir menjadikan les di sekolah sebagai ajang bisnis untuk mengeruk keuntungan dapat merusak dinia pendidikan dan karakter anak sebagai generasi penerus. Sekolah diminta adil dan memahami kondisi finansial peserta didik yang berasal dari berbagai latar belakang.
”Tidak semua orangtua siswa punya uang yang cukup untuk membayar les. Karena itu, kami mengimbau seluruh sekolah memahami kondisi ekonomi saat ini. Jangan sakiti masyarakat yang tidak mampu dengan pola-pola yang nyeleneh,” kata anggota DPRD Kotim Dadang H Syamsu, kemarin (13/7).
Seperti diberitakan, pendidikan menjadi lahan basah bagi sejumlah oknum. Berbagai modus dilakukan untuk mengeruk keuntungan, salah satunya dengan menjadikan les sebagai bisnis. Modusnya, pelajar dikenakan tarif tertentu yang besarannya mencapai ratusan ribu. Hal tersebut kini mulai dikeluhkan orangtua peserta didik.
Orangtua murid yang meminta namanya tak disebutkan, mengungkap, anaknya mengikuti les dengan biaya cukup besar, yakni mencapai Rp 200 ribu per bulan. Meski tak diwajibkan ikut, anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar ini terpaksa mengikuti untuk menghindari konsekuensi yang mungkin muncul nantinya.
Dadang mengaku sudah menerima informasi demikian. Menurutnya, tak ada yang salah apabila guru mengadakan les bagi peserta didiknya. Hanya saja, jangan sampai hal tersebut justru orientasinya menyimpang, yakni bukan untuk kecerdasan anak, sebaliknya justru jadi ajang mencari uang.
Menurut Dadang, apabila dalam pelaksanaan les berujung diskriminasi terhadap peserta didik yang tidak ikut, hal itu sudah keluar dari cita-cita pendidik. Dia berharap hal itu tidak sampai terjadi kepada semua pendidik di Kotim.
Dadang menegaskan, fungsi Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah harus ditingkatkan. Jika ada oknum guru yang melakukan diskriminasi kepada siswa lantaran tidak ikut les berbayar, oknum tersebut harus diberikan teguran.
Dadang mendukung kegiatan les kepada peserta didik. Namun, tidak serta merta dipatok harga tinggi hingga munculnya tindakan diskriminasi. ”Intinya, jangan ada diskriminasi kepada siswa. Ini merusak dunia pendidikan nantinya,” tegasnya.
Dia tidak ingin sektor pendidikan di Kotim terus diributkan masalah pungutan. Dinas Pendidikan harus aktif mengawasi dan bertanggung jawab terhadap kebijakan sekolah, termasuk soal pungutan untuk les kepada murid.
”Kita tidak ingin dunia pendidikan Kotim justru jadi mata air bagi oknum dan jadi air mata bagi warga yang tidak mampu. Pendidikan berkeadilan itu adalah amanat dan perintah dari konsititusi kita. Jadi, pemkab harus tegakan kembali cita-cita pendidikan yang berkeadilan, karena semua orangtua anaknya ingin pintar dan cerdas,” katanya. (ang/ign)