PALANGKA RAYA – Sidang lanjutan praperadilan Yansen Binti kembali bergulir, Selasa (17/10). Termohon dalam sidang kali ini membantah sepenuhnya sangkaan yang disampaikan kuasa hukum pemohon pada sidang sebelumnya, terutama mengenai anggapan penekanan untuk menyebutkan nama Yanse Binti.
AKBP Dwi Jaladri menegaskan, bahwa penangkapan dan penahanan sudah sesuai prosedur berdasarkan bumti permulaan yang cukup. Alurnya pun dikatakan sudah sesuai, mulai dari pemanggilan sanksi, gelar perkara hingga penetapan tersangka.
“Jadi tidak benar (tuduhan kuasa hukum Yansen, Red), pasal 184 KUHAP itu sudah kita pedomani. Artinya apa yang kita lakukan sudah pada ketentuan hukum yang berlaku, tidak ada tindakalan yang diluar ketentuan,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebelum menetapkan status tersangka pada Yansen Binti, pihak kepolisian terlebih dahulu sudah mengumpulkan keterangan tersangka yang sebelumnya sudah diamankan.
Dia membantah adanya penekanan terhadap para pelaku sebelumnya untuk menyebutkan nama Yansen sebagai otak kejahatan. Mekanisme yang dilakukan, mulai dari penyidikan dan pemeriksaan dilakukan dengan tahapan dan aturan yang jelas.
“Kami sudah melakukan sesuai mekanisme. Mulai dari alat bukti dan barang bukti, kami kuatkan lagi dengan keternagan para pelaku sebelumnya yang sudah lebih dahulu diamankan,” sebutnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pihaknya, disimpulkan bahwa aksi pembakaran sekolah dilakukan untuk meminta perhatian gubernur. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penyidikan yang disampaikan sebelumnya. Pemohon yang pernah menjadi salah tim sukses gubernur saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) lalu, tidak lagi diberi perhatian, khususnya mengenai proyek. Gubernur dianggap lebih memberi proyek pada orang dekatnya termasuk keluarga.
“Tersangka memerintahkan para pelaku membakar sekolah dengan iming-iming. Hal ini terungkap dari hasil pemeriksaan dan pengembangan perkara oleh kepolisian. Jadi tidak ada penekanan terhadap perlaku sebelumnya,” ucapnya.
Sementara itu, menganai adanya tuntutan ganti rugi moril dan materil yang dilayangkan pada termohon dianggap tidak punya dasar hukum dan tidak mungkin dikabulkan. Sebab, ujar dia, tuntutan ganti rugi sebesar Rp 10 miliar lebih yang dilayangkan pemohon tersebut di luar kewenangan hakim praperadilan.
Terlepas dari itu, dia mengatakan bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon mestinya tidak diterima oleh hakim praperadilan, karena pemeriksaan bukan objek dari praperadilan. Selain itu, katanya, kasus yang menimba Yansen Binti juga sudah masuk pada pokok perkara, sehingga majelis hakim harus mempertimbangkan tindak lanjut permohonan praperadilan tersebut.
“Sehingga kalau sudah memasuki materi pokok perkara, tidak lagi punya kewenangan untuk memeriksa dalih pemohon. Dan ini juga bukan lagi objek pemeriksaan praperadilan sebagaimana yang diatur ketentuan hukum berlaku,” bebernya. (sho/vin)