SAMPIT – Rencana permortalan lahan oleh sejumlah warga dari Desa Bapeang dan Desa Bapanggang Raya Kecamatan Mentawa Baru Ketapang yang beberapa waktu lalu dilontarkan, akhirnya diwujudkan, Rabu (8/11). Aksi itu dilakukan setelah upaya memprotes penggarapan lahan warga dilakukan perusahaan tak ada kejelasan.
Lahan yang diportal berada di Desa Bapanggang Raya, RT 07/ RW02, Jalan HM Arsyad kilometer 22, masuk menyusuri Sungai Lenggana sekitar 2,8 kilometer, dan masuk ke utara sekitar 750 meter. Jauh hari sebelum aksi itu, para warga juga sudah mengikuti mediasi dengan melibatkan berbagai saksi dan aparat keamanan di kantor Kecamatan MB Ketapang.
Namun, hingga kini hasil mediasi yang juga melibatkan pihak penggarap lahan mereka itu, tidak ada tindak lanjutnya. Selain itu, pihaknya juga sudah melayangkan surat pemberitahuan ke Kecamatan MB Ketapang, dengan tebusan ke Polsek Ketapang, Koramil Ketapang, Kepala Desa Bapanggang Raya, dan Kejaksaan Negeri Sampit, termasuk pihak perusahaan.
Matsum (42), perwakilan warga yang melakukan pemortalan mengatakan, lahan garapan tersebut mereka beli mulai tahun 2004. Ada yang 2005 dan 2006 dengan kuitansi ganti rugi ditandatangani Kades Bapeang saat itu. Kemudian, tahun 2010 ke atas Desa Bapeang dimekarkan menjadi Desa Bapanggang Raya dan tanah tersebut masuk ke wilayah desa pemekaran tersebut, sementara status mereka pemilik lahan, tetap sebagai warga Desa Bapeang.
Selain itu, papar Matsum, salah satu dasar pembukaan lahan tersebut untuk masyarakat, yakni ada SK Bupati Kotim terdahulu, sekitar tahun 2000-an dan warga mendapatkan jatah pembagian dengan membayar upah pengukuran dan pemetaan kepada masing-masing RT.
”Kami tidak menuntut terlalu jauh atas masalah ini, yakni kembalikan keberadan lahan kami yang telah digarap itu, atau ganti rugi sesuai dengan dana yang telah kami keluarkan, untuk membeli dan menggarapnya. Di lahan warga yang digarap itu, sudah ada yang ditanami sawit dan sudah berbuah pasir. Seperti punya saya,” beber warga yang beralamat di RT 04 RW1 Desa Bapeang ini.
Matsum melanjutkan, pemortalan lahan itu tentunya memiliki dasar kuat. Lahan sekitar 44 hektar tersebut semuanya dilengkapi surat pernyataan tanah (SPT) yang tentunya ditandatangani kepala desa dan camat setempat.
Mengenai pihak yang menggarap lahan mereka dan sebagian sudah ada yang ditanami sawit, Matsum mengaku tidak mengetahui pasti perusahaan itu dari mana. Dia menegaskan, hal itu masih jadi pertanyaan warga. Selama ini, mereka hanya mengetahui di atas lahan itu ada yang melakukan pembersihan skala besar menggunakan alat berat.
Saat di lokasi pemortalan, oknum bernama Martinus, yang mengaku berasal dari humas perusahaan, mendatangi warga. Dia mempertanyakan legalitas aksi warga.
”Saya tidak tahu ada pemortalan ini. Seharusnya warga atau kades memberitahukan kepada saya selaku humas perusahaan,” katanya, sekaligus menyesalkan aksi tersebut.
Namun, apa yang disampaikan Martinus tersebut dibantahkan Matsum yang mewakili warga. ”Semua surat yang ada tembusannya sudah kami sampaikan. Bukti tanda terima surat pemberitahuan aksi ini ada dengan kami,” tegasnya.
Matsum menambahkan, seharusnya Martinus tidak perlu sibuk mempertanyakan legalitas kepemilikan lahan. Bukti legilitas sudah mereka sampaikan sewaktu rapat di aula Kecamatan MB Ketapang yang dimediasi camat beberapa waktu lalu.
”Dalam rapat itu, kami warga pemilik lahan bahkan diambil sumpah di bawah Alquran yang diminta oleh camat. Jadi, mau apa lagi?” imbuhnya.
Hamdani yang juga warga pemilik lahan menambahkan, pemasangan portal tersebut untuk meminta kepastian perusahaan, apakah ada ganti rugi atau lainnya. ”Kalau mereka tidak menyelesaikan ganti rugi atas penggarapan lahan kami, otomatis kami warga pemilik lahan akan mengelola lahan ini sendiri,” tegasnya.
Aksi pemortalan tersebut terus berlanjut, sampai beberapa warga juga memasang patok nama di beberapa titik lahan milik mereka. Saat aksi itu, tidak ada satu pun aparat berwenang, baik dari kantor kecamatan dan pemerintahan desa setempat yang turun ke lokasi. (gus/ign)