SAMPIT – Pengungkapan kasus robohnya crane kapal yang menewaskan seorang pekerja dinilai lamban. Polisi dianggap terlalu lama menyimpulkan jenis kasusnya.
Syamsul Haidar, salah seorang praktisi hukum di Sampit, mengatakan bahwa kasus ambruknya crane di Sampit mirip dengan robohnya bangunan di Bursa Efek Indonesia atau dinding roboh di Apartemen Pakubuwono Spring beberapa waktu lalu.
”Insiden ini bisa jadi dipicu human error atau engineering error. Karena bila terdapat perencanaan yang baik, potensi bencana bisa dihindari,” ujarnya.
Haidar melanjutkan, pada pasal 59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur, dalam setiap penyelenggaraan jasa konstruksi, pengguna jasa dan penyedia jasa wajib memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.
Penanggungjawab penyedia jasa konstruksi bisa dipidana jika terbukti ada kelalaian.
Pernyataan Haidar soal potensi pidana bukan isapan jempol. Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan soal kelalaian yang bisa menyebabkan kematian orang lain. Dalam aturan itu disebutkan, siapa pun yang karena kesalahannya menyebabkan kematian orang lain, maka bisa dihukum penjara paling lama lima tahun.
Selain pasal 359, ada pasal 201 KUHP yang mengatur soal rusaknya bangunan yang menyebutkan bahwa seseorang dapat dipidana penjara 4 bulan 2 minggu, jika karena kesalahannya menyebabkan gedung atau bangunan dihancurkan.
Selain KUHP, ada pasal 60 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999. Dalam pasal 60 disebutkan, penyelenggaraan jasa konstruksi yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan, pengguna jasa atau penyedia jasa (kontraktor) dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kegagalan bangunan.
”Sekarang pertanyaannya, apakah dalam kasus crane tersebut dapat dikategorikan dalam kategori konstruksi bangunan. Jawabannya bisa. Walau jika dilihat kasusnya bukan bangunan, namun alat berat. Kita harus fokus kepada jenis kasusnya. Bukan jenis objeknya,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata dia, kasus robohnya crane memang bukan kecelakaan konstruksi. Namun jenis peristiwanya sama, yaitu kecelakaan kerja yang berpotensi pidana. Dengan demikian, polisi harusnya mengacu pada undang-undang dan KUHP. Tak hanya menunggu hasil penjelasan ahli seperti yang dikatakan aparat kepolisian.
”Sampai sekarang juga belum jelas kan, bagaimana hasil masukan dari ahli. Itulah mengapa saya katakan, silakan mengacu pada undang-undang dan KUHP saja. Selebihnya, keterangan ahli baru untuk menunjang proses pembuktian kasus,” tandasnya. (ron/yit)