KASONGAN - Wilayah Kecamatan Mendawai dan Katingan Kuala sejauh ini merupakan lumbung padi di Kabupaten Katingan, bahkan di Provinsi Kalteng. Produksi gabah keringnya cukup menggembirakan. Per hektare rata-rata mampu menghasilkan enam ton.
Darniansyah, warga Desa Mendawai, Kecamatan Mendawai, mengatakan, dalam setahun, petani bisa panen gabah kering mencapai dua kali. Bahkan, untuk varietas tertentu, masa panen dapat dilakukan tiga kali setahun. Hanya saja, hasil pertanian tersebut sering dimanipulasi daerah lain.
”Beras hasil panen di wilayah kita banyak dibeli dan akhirnya memakai merek atau label daerah lain, seperti Pulang Pisau dan Pangkalan Bun,” ungkapnya, Jumat (17/8).
Meskipun praktik tersebut tidak melanggar hukum, dia mengaku miris dengan fakta tersebut. Pasalnya, belum ada satu pun label beras milik pihak swasta maupun pemerintah daerah asal Katingan.
”Produksi beras kami sekarang ini rasanya lebih enak, karena dari proses panen hingga pengemasan dilakukan secara cepat. Jadi, tidak sampai basah kena hujan dan lain-lain. Intinya, masih segar," jelasnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, jelasnya, petani di dua wilayah tersebut mendapat bantuan modal untuk membeli alat mekanisasi. Dengan demikian, proses tanam hingga panen semuanya memanfaatkan teknologi pertanian, sehingga lebih efektif dan efisien.
”Kalau pakai mesin, sawah seluas satu hektare cuma perlu beberapa jam untuk dipanen. Kalau dulu, bisa sampai berhari-hari. Faktor inilah yang membuat produksi gabah di daerah melonjak," tuturnya.
Tingginya minat pengusaha asal luar daerah membeli gabah kering di Katingan, lantaran harganya murah. Pengusaha membeli gabah kering dengan kisaran antara Rp 8.000 hingga Rp 8.500, tergantung varietas. Setelah dikemas, beras berlabel itu dijual dengan harga mulai Rp 12.000 sampai Rp 13.000 per kilogram.
”Para pengusaha dari luar daerah itu beli gabah dari petani kami, lalu dilabel dengan karung yang telah mereka persiapkan. Secara logika, artinya beras kami sudah diklaim orang luar. Ada beberapa merek yang saya ketahui dan tidak ada satu pun yang beralamat di Katingan," sebutnya.
Masyarakat, khususnya petani, pada dasarnya tidak menyalahkan pengusaha yang memanipulasi kemasan di label beras tersebut. Mereka lebih memetingkan pasar. Artinya, beras mereka laku dan cepat terjual. Sebab, para pengusaha bermodal tebal itu sanggup menampung produksi gabah petani hingga puluhan ton.
”Adapun beras yang kerap diklaim tersebut, di antaranya jenis hibrida dan melati. Dua jenis varietas ini dinilai memiliki rasa yang lebih enak dibanding jenis lain. Artinya, beras lokal saat ini mampu bersaing dengan produksi dari luar pulau. Diperkirakan label beras itu sudah dipasarkan ke berbagai wilayah Kalteng bahkan Pulau Jawa," ujarnya.
Meskipun belum ada pihak yang merasa dirugikan atas praktik dagang semacam itu, dia berharap Pemerintah Kabupaten Katingan tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah mengatasi persoalan tersebut. Pasalnya, sebagian pihak mengkhawatirkan bahwa ke depan bakal terjadi persaingan pasar yang tidak sehat.
”Salah satu kendala kenapa kita tidak bisa memasarkan beras sendiri, yaitu karena terbentur ketiadaan infrastruktur jalan. Sampai saat ini belum ada jalan darat yang sampai Kasongan atau Sampit," pungkasnya. (agg/ign)