SAMPIT- Aroma dupa mulai tercium saat memasuki kawasan pemakaman di Jalan Jenderal Sudirman Kilometer 6, Kelurahan Pasir Putih, Kabupaten Kotawaringin Timur. Puluhan mobil tampak berjejer di sepanjang area pemakaman. Warga yang datang setelah pukul 05.00 WIB, akan cukup kesulitan untuk mencari tempat parkir.
Hari itu, Minggu (31/2) tampak warga etnis tionghoa tumpah ruah dalam rangka hari ceng beng atau qing ming, yakni suatu hari ziarah tahunan bagi etnis Tionghoa. Hari ceng beng diperingati dua bulan pasca Imlek, atau tanggal 1 bulan 3 menurut penanggalan Imlek (sa gwee). Pada 10 hari sebelum sa gwee, warga etnis Tionghoa sudah dapat melakukan sembahyang.
Secara tradisional waktu untuk melakukan ziarah kubur atau makam cengbeng yakni antara 10 hari sebelum hari cengbeng dan 10 hari setelah hari cengbeng, antara 26 Maret - 15 April. Namun bagi sebagian orang saat ini perlu menyesuaikan waktu, karena kesibukan ataupun harus mengunjungi beberapa lokasi makam leluhur yang terpisah puncak perayaan cengbeng jatuh pada hari Minggu terdekat sebelum tanggal 5 April.
Warga keturunan tionghoa biasanya akan datang ke makam kuburan orang tua atau leluhur untuk membersihkan area makam dan sekalian bersembahyang atau pai di makam tersebut, sambil membawa buah-buahan, kue-kue dan berbagai macam makanan serta karangan bunga.
Yulliani warga keturunan tionghoa yang sudah hampir 10 tahun tinggal di Jakarta mengaku seneng ceng beng tahun ini bisa kumpul saudara dan pergi ke makam para leluhur. “Kapan lagi momentnya, setelah berkeluarga sudah jarang pulang kampung,” ujar wanita yang memiliki nama mandarin Li Lian Jin ini.
Saat hari ceng beng, jika mengikuti tradisi dulu, harus sam seng atau sembahyang tiga unsur, yaitu ayam mewakili unsur udara, babi mewakili darat, ikan mewakili unsur air.
”Kayak keluarga suami saya setiap tahun masih sam seng ada ayam, babi sama ikan, bedanya kan sekarang sudah modern dan berhubung vegetarian juga. Jadi hanya persiapkan buah-buahan, nasi dan sayur untuk persembahan,” tambah Yuli, begitu wanita ini biasa disapa.
Ditambahkannya, untuk vegetarian saat ini sudah banyak yang menggunakan bahan olahan, untuk ketiga unsur tersebut.
Yuli mengaku beberapa hari sebelum hari ceng beng, keluarga besarnya sudah membeli berbagai keperluan sembahyang seprti, dupa/hio, buah-buahan, kue, kertas sembahyang dan lain-lain. Yuli bersama keluarga besarnya sejak pukul. 04.00 WIB melakukan persiapan untuk pergi ke makam.
”Bangun lebih awal untuk masak nasi, karena nasi yang di bawa harus nasi yang baru, selain itu menyiapkan air teh dan juga kopi,” jelasnya.
Sekitar pukul 05.00 Yuli bersama keluarga besarnya siap untuk sembahyang di makam leluhur, yang sebelumnya telah disiapkan persembahan berupa nasi sayur, sam seng, kue, buah, masakan berkuah dan kering.
Setelah sembahyang lelulur dilanjutkan dengan tradisi peletakan kertas sembahyang di atas makam, sebagai tanda bahwa kubur sudah dibersihkan dan atau telah dikunjungi oleh keluarga.
Peletakan kertas sembahyang kertas perak atau kertas kuning di atas makam adalah sebagai penanda atas kubur yang kemudian dijadikan tradisi setiap tahunnya dalam memperingati ceng beng. Kemudian dilanjutkan dengan ritual sembahyang dewa bumi atau du di gong (thu ti kong. red) dengan membakar kertas berwarna keemasan atau kim cua untuk sembahyang dewa dewi, dan kertas warna perak gin cua untuk sembahyang yang leluhur.
Menurut Yuli, bagi etnis Tionghoa yang tidak dapat datang langsung ke makam leluhur dapat sembahyang di Vihara, sebagai gantinya pelimpahan jasa pahala atas nama orang tua atau leluhur yang sudah meninggal, bisa dengan sumbangan bentuk uang ataupun buah-buahan.
Sementara itu suami Yuli, Eddy Setiawan yang memiliki nama mandarin Lin Shi Cong menambahkan bahwa yang terpenting dari hari cengbeng adalah untuk mengingat orang terkasih yang telah meninggal dunia. Selain itu hari ceng beng juga merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul dan mempererat hubungan bersama sanak keluarga yang datang dari jauh.
”Yang menekankan agar memperlakukan orang tua dengan berbakti, baik semasa mereka hidup maupun ketika mereka sudah tiada. Untuk menghormati dan menunjukkan tanda bakti kepada orang tua atau leluhur, penting untuk membawa berbagai makanan favorit mereka semasa hidup,” ujarnya.
Selain itu, menurut Eddy, satu hal yang terpenting dilakukan saat kunjungan ke makam selama masa ceng beng adalah memeriksa bongpay (nisan) atau di bagian karapas (tempurung) yang rumputnya sudah meninggi.
“Misal ada retak atau tulisan yang tidak kelihatan lagi harus diperbaiki, karena tidak setiap saat kita boleh memperbaiki bong pay. Kalau bukan bulan ceng beng tidak boleh,” tandasnya.
Terpisah, Miming mengatakan, ziarah ke makam orang tua bisa menyesuaikan dengan keyakinan masing-masing. Tujuan dari hari ceng beng adalah kerabat bisa berkumpul bersama. (rm-96/yit)