SAMPIT – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) tak memiliki kewenangan menindak pelanggaran dalam distribusi elpiji subsidi tiga kilogram. Di sisi lain, Pemkab juga kesulitan mengawasi penyalurannya karena sumber daya manusia (SDM) yang terbatas.
Hal itu disampaikan Kepala Bagian Ekonomi dan Sumber Daya Alam (SDA) Sekretariat Daerah Kotim Wim RK Benung melalui Sub Bagian SDA dan Lingkungan Hidup Rachmadan. Dia mengatakan, satuan petugas (satgas) pengawasan sudah dibentuk dengan melibatkan aparat hukum dan SOPD terkait.
Satgas pengawas sebanyak 16 orang yang bertugas mengawasi peredaran penjualan gas elpiji. Penanggung jawab tim tersebut adalah Bupati Kotim, Ketua DPRD Kotim, Kapolres Kotim, Dandim 1015 Sampit, dan Kejari Kotim.
”Kami hanya melakukan pengawasan, sedangkan penindakannya tetap harus dari Pertamina,” kata Rachmadan.
Menurutnya, distribusi gas elpiji memang harus dilakukan pengawasan secara rutin. Namun, sumber daya manusia (SDM) menjadi kendala terkait itu.
”Selama ini pengawasan memang tidak berjalan maksimal karena SDM yang terbatas dan untuk menangani persoalan elpiji memang harus ada tim khususnya. Karena persoalan elpiji ini hampir terjadi sepanjang tahun dan kasusnya terus berulang,” katanya.
Rachmadan mengatakan, kelangkaan gas elpiji terjadi bukan karena kuotanya yang kurang. Namun, karena distribusi penyalurannya yang tidak merata dan tidak tepat sasaran.
”Gas elpiji subsidi untuk warga yang kurang mampu yang penghasilannya di bawah Rp 1,5 juta per bulan, tetapi kenyataannya masyarakat dari berbagai kalangan juga ikut menikmati. Itulah yang sulit kami awasi,” ujarnya.
Terkait harga pasaran yang dijual melebih HET juga sulit dikendalikan, karena masih banyak pangkalan yang menjual bebas ke pedagang eceran untuk dijual lagi ke warga.
”Pangkalan itu seharusnya menjual untuk masyarakat, bukan untuk pedagang eceran yang dijual lagi. Maka tidak heran harga elpiji di mana-mana berbeda-beda,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, pemerintah daerah sudah berupaya menangani persoalan gas elpiji dengan memberlakukan penerapan Kartu Keluarga (KK) dan KTP-el. Namun, masih saja KTP yang disalahgunakan.
”Pembelian gas elpiji di tingkat pangkalan sudah diberlakukan dengan sistem pembuktian KTP, tetapi ada saja yang malah menyalahgunakan KTP agar bisa membeli dengan jumlah banyak,” ujarnya.
Dia juga membenarkan adanya informasi yang beredar, yakni pangkalan yang menjual gas elpiji ke warga untuk dibawa ke perusahaan sawit dengan jumlah banyak.
”Penyaluran gas elpiji ini memang tidak merata, karena selama ini pangkalan sepenuhnya menjadi kewenangan agen. Jadi, pemerintah tidak pernah terlibat merekomendasikan agar pangkalan menyebar rata di setiap desa dan kelurahan,” ujarnya.
Pantauan Radar Sampit, pangkalan gas elpiji memang lebih banyak terpusat di wilayah perkotaan. Karena itu, warga dari perdesaan atau kecamatan yang jauh dari perkotaan berbondong-bondong membeli gas elpiji ke perkotaan meskipun dengan harga mahal.
”Semua orang itu berhak mengajukan diri menjadi pedagang pangkalan, tetapi tetap pihak agen yang menunjuk pangkalannya. Makanya distribusi penempatan pangkalan di setiap desa tidak berjalan maksimal,” ujarnya.
Mengenai mekanisme pembayaran, Rachmadan mengatakan, dilakukan secara online. Bukti rekening pembayarannya juga ada dan sudah sesuai harga yang dibayarkan.
”Pangkalan menyetor ke agen, agen menyetor ke Pertamina, dan sudah dibayar dengan harga yang sesuai beserta bukti rekening pembayaran. Tetapi, di luar itu ada biaya tambahan lagi yang harus disetorkan,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya, kesepakatan mengenai harga gas elpiji sudah ditetapkan, namun masih ada saja biaya di luar HET yang harus dibayarkan, sehingga permainan harga gas elpiji sulit dikendalikan, karena sama-sama ingin meraih keuntungan.
”Memang sudah ada kesepakatan yang ditetapkan antara pemerintah dengan pihak agen dan pangkalan. Itu juga sudah diperhitungkan keuntungan bagi mereka, tetapi ada lagi setoran yang lain, sehingga harga di pasaran juga berbeda-beda,” tandasnya. (hgn/ign)