SAMPIT – Kebijakan Pertamina menarik bahan bakar minyak jenis premium dan menggantikan dengan pertalite menuai protes dari kalangan sopir di Kabupaten Kotawaringin Timur. Persatuan sopir pikap menolak kebijakan itu dan mengancam akan melakukan aksi turun ke jalan.
Ketua Persatuan Sopir Pikap Kotim M Sopian mengatakan, para sopir pikap banyak mengeluh, karena dalam ketentuan penggantinya, pertalite seharga premium tidak diberlakukan terhadap kendaraan roda empat pelat hitam.
”Kalau tidak ada pembatasan kami mendukung. Namun, ini dibatasi. Tentu akan membuat gejolak," kata Sopian, Rabu (24/3).
Sopian menuturkan, kendaraan berpelat kuning hanya untuk kendaraan tertentu, yakni perusahaan yang memiliki bidang usaha yang jelas. ”Sementara masyarakat biasa, kendaraan mereka saja masih kredit. Bahkan pekerjaan banyak yang tidak jelas. Kalau harus membeli pertalite harga biasa atau pertamax, sangat memberatkan,” jelasnya.
Dampaknya, lanjut Sopian, tentu akan berpengaruh terhadap harga kebutuhan pokok masyarakat, seperti halnya sopir pikap angkutan barang yang akan menaikkan biaya angkutan.
”Jadi, kami menolak premium ditarik sementara penggantinya dijual dengan pembatasan. Apabila tidak ada solusi dalam waktu dekat ini, kami akan turun melakukan aksi," tegasnya.
Sopian menambahkan, dari sekian banyak anggota mereka di Kotim, hampir seluruhnya berpelat hitam. Karena itu, sejak diberlakukannya pertalite khusus pada 21 Januari 2021, pihaknya harus menambah biaya bahan bakar mereka dari biasanya."Dipikirkan, apalagi teman-teman yang kendaraannya masih kredit," tukasnya.
Dia juga menyesalkan program tersebut tanpa sosialisasi terlebih dahulu dan melihat kondisi daerah. ”Kotim ini beda dengan daerah Jawa atau Jakarta. Kita ini belum siap," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Kotim Syahbana menilai, program tersebut tidak tepat diterapkan di Kotim. Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, kebijakan menghapus premium akan berdampak pada masyarakat. Terutama tarif angkutan dan harga kebutuhan pokok di pelosok akan terimbas. Masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli BBM jenis lain apabila premium dihapus.
Syahbana menuturkan, apabila hal itu direalisasikan, khususnya di Kalteng, bakal ada efek domino bagi kendaraan dan angkutan umum. Selisih harga dari premium ke pertalite akan menambah biaya operasional.
”Bayangkan, berapa selisih yang harus ditutupi untuk angkutan barang berbahan bakar premium dan itu tentunya akan dibebankan kepada masyarakat. Padahal, saat ini masih pandemi Covid-19, daya beli masyarakat sedang turun,” kata Syahbana.
Lebih lanjut Syahbana mengatakan, Kotim belum siap dengan penghapuan premium. Apalagi melihat situasi di lapangan, mayoritas kendaraan umum dan angkutan masyarakat masih mengandalkan bahan bakar tersebut sebagai andalan. Hal itulah yang akan berdampak pada kenaikan tarif angkutan umum yang dikhawatirkan bisa membebani penumpang travel dan lainnya.
Pertamina, kata Syahbana, harusnya bisa memberikan penyesuaian harga terhadap BBM jenis lain. Misalnya, penyesuaian harga pertalite sebagai BBM dengan angka oktan yang lebih tepat ketimbang premium.
”Jadi, harus ada solusi. Tapi, kalau yang dihapus di daerah sudah maju tidak masalah. Namun, kalau di Kalimantan Tengah, khususnya Kotim dengan demografi dan kultur begini belum siap kalau premium ditarik dari pasaran,” tegasnya.
Apalagi, tambah Syahbana, dalam aturannya, pengisian pertalite tidak diperuntukkan bagi pelat hitam. ”Jadi tambah parah. Ternyata ada aturan lagi pertalite dilarang untuk pelat hitam, sementara kendaraan angkutan massal di Kotim banyak pelat hitam. Begitu juga angkutan barang,” ujarnya.
Sebagai informasi, kebijakan yang diberi nama program langit biru (PLB) itu mulai dilaksanakan di Sampit pada Minggu (21/3), setelah sebelumnya juga dimulai di Kota Pontianak dan Mempawah, Kalimantan Barat. Program tersebut merupakan edukasi kepada masyarakat yang masih menggunakan bahan bakar premium, terutama untuk pengendara roda dua, tiga, angkutan umum, dan taksi pelat kuning untuk beralih menggunakan bahan bakar berkualitas yang beroktan lebih tinggi, yaitu minimal pertalite (RON 90) .
Pertamina melaksanakan program itu sebagai komitmen untuk menurunkan polusi udara, sejalan dengan upaya pemerintah untuk menjadikan udara lebih bersih dan nyaman. Program langit biru di Kalimantan baru dilaksanakan di Pontianak dan Mempawah pada 14 Maret.
Sejak Minggu (21/3) lalu, program pertalite harga khusus dimulai hingga enam bulan ke depan dengan harga promo bervariatif per dua bulannya di tiga kota sekaligus, yaitu Balikpapan, Samarinda, dan Sampit. Konsumen yang berhak menikmati promo dapat membeli pertalite dengan harga khusus, yaitu seharga premium Rp 6.450 per liter dalam dua bulan pertama sejak peluncuran program dan telah disediakan jalur khusus pada SPBU yang berpartisipasi. (ang/ign)