SAMPIT – Bisnis haram berupa prostitusi liar berkedok warung remang-remang di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) seolah sulit dihentikan. ”Perlawanan” diberikan para pelakunya dengan terus kembali beroperasi meski berulang kali ditertibkan. Pemkab berupaya memutus ”perlawanan” itu dengan memberikan ancaman memproses pelakunya jika mengulangi perbuatan yang sama.
Kemarin (10/11), untuk kesekian kalinya, warung remang-remang di Jalan Moh Hatta, jalur lingkar selatan dibongkar petugas gabungan. Wakil Bupati Kotim Irawati turun langsung memantau proses penertiban bersama sejumlah pejabat terkait, di antaranya Ketua DPRD Kotim Rinie.
Tidak ada protes dari pemilik bangunan saat petugas meratakan tempat usaha mereka menggunakan alat berat. Pemilik warung sebelumnya telah diberikan surat peringatan sebanyak tiga kali untuk membongkar sendiri bangunannya. Meski sebagian ada yang membongkar sendiri, tak sedikit bangunan yang masih tetap ada hingga pemerintah turun tangan.
”Yang kami bongkar ada 13 bangunan. Selama ini, bangunan itu kerap digunakan sebagai warung remang-remang dan tempat prostitusi,'' kata Irawati.
Sejak beberapa hari lalu, Pemkab Kotim gencar melakukan razia di lokasi itu. Bangunan tersebut kerap dijadikan tempat prostitusi maupun peredaran minuman keras yang telah dilarang dalam Perda Kotim.
Pemkab juga berulang kali memperingatkan agar pengelola warung tidak melakukan praktik maksiat. Menurut Irawati, bisnis terlarang itu bisa merusak iman dan memicu peningkatan angka kriminalitas.
Pantauan Radar Sampit, di dalam bangunan yang dibongkar terdapat kasur, lengkap dengan bantal. Ada juga lotion, sisir, rokok, serta tisu yang berserakan. ”Kami akan terus pantau. Kalau dibangun lagi, akan kami bongkar lagi. Sesuai visi dan misi Harati, Kotim bersih, aman, dan agamis. Apalagi ini lingkungan kota," ujar Irawati.
Irawati menuturkan, pemilik bangunan rata-rata menyewa lahan orang lain. Namun, bangunan yang berdiri di lahan itu justru disewakam untuk hal negatif. ”Pemilik tanah juga harus tahu dan jangan hanya terima duit. Kalau masih seperti ini, akan dipasang plang larangan membangun," ujarnya.
Menurut Irawati, pembinaan telah dilakukan kepada para pekerja seks komersial (PSK) maupun pemilik bangunan. Bahkan, diberi uang untuk pulang kampung, jatah hidup, peralatan kerja, serta modal usaha. Akan tetapi, hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik dan justri kembali lagi pada profesi itu.
Para PSK tersebut rata-rata mulai beroperasi sekitar pukul 19.00 WIB. Warung kopi yang berjualan di lokasi tersebut jadi kedok bisnis prostitusi tersebut. ”Hasil patroli banyak dan ramai. Satu rumah sampai empat bilik. Sepertinya mereka melayani untuk kalangan menengah ke bawah," kata Irawati.
Informasinya, tarif PSK untuk satu kali melayani tamu antara Rp 100 ribu – Rp 150 ribu. Ada juga yang dibayar hanya sebesar Rp 50 ribu. Rata-rata usia para PSK sekitar 40 tahun ke atas. Namun, ada juga yang muda berasal dari luar daerah, seperti Jakarta.
Sebagai seorang wanita, Irawati mengaku miris melihat kondisi tersebut. Apalagi saat mendapati seorang wanita hamil di lokasi. Ketika ditanya, wanita itu mengaku suaminya seorang sopir yang memang jarang pulang.
Sementara itu, seorang pria paruh baya yang juga pemilik salah satu bangunan, telah berulang kali diperingati pihak kecamatan. Dia mengaku menyewakan tempatnya untuk modal bertani. Namun, ternyata jadi lahan untuk menggarap bisnis haram.
”Dia ini pemain lama. Sudah berapa kali diperingati. Bangunan juga kami bongkar, masih saja dibangun lagi. Kalau kami dapati seperti ini lagi, yang bersangkutan akan kami angkut," tegas Camat Mentawa Baru Ketapang Sutimin.
Warga setempat, M Nur, mengaku mengetahui adanya praktik maksiat di lokasi tersebut. Hanya saja, dia tidak bisa berbuat apa-apa. ”Saya tahu ada yang seperti ini, tapi kalau melapor saya takut dimusuhi," ujarnya.
Mendengar itu, Irawati meminta warga tidak perlu khawatir. Dia meminta M Nur untuk melaporkan kepada pihak terkait apabila mengetahui adanya kegiatan terlarang di malam hari. Selain di lokasi itu, pihaknya akan menyisir lokasi lain seperti Jalan Jenderal Sudirman Km 13, 14, dan 35.
Ketua DPRD Kotim Rinie Anderson mendukung langkah tegas Pemkab Kotim memusnahkan semua warung esek-esek di Kota Sampit. Bahkan, selanjutnya harus menyasar sampai ke tempat maksiat yang selama ini berkedok penginapan.
”Apalagi saya sebagai kaum perempuan, melihat ini merasa direndahkan dan seperti gampangan. Kita kan punya rasa dan sedih melihat seperti ini. Selama ini kami ikut ke lapangan dan memang alasan mereka untuk membeli susu anak ataupun keperluan ekonomi lainnya," ujarnya.
Meski demikian, tambahnya, hal itu tidak bisa dijadikan alasan. Masih banyak cara lain untuk menghasilkan uang yang lebih baik serta halal. ”Ini harus diberantas, tapi memang pelan-pelan, karena sudah beberapa kali pihak kecamatan membongkar, namun kembali lagi ada. Makanya, memang harus ada tindakan lebih tegas lagi. Pemerintah jangan sembarangan memberikan izin sewa. Harus dilihat lagi kegunaannya apa," ujarnya.
Rinie mendorong masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam pemberantasan prostitusi secara bersama-sama. ”Jangan dibiarkan! Masyarakat harus ikut mengawasi juga,” tandasnya. (yn/ang/ign)