SAMPIT – Penertiban minuman keras di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dinilai tak memerlukan peraturan daerah baru. Pasalnya, Perda Kotim Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pengendalian Minuman Keras dinilai sudah cukup menjadi payung hukum operasi di lapangan.
Hal tersebut ditegaskan mantan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kotim Dadang H Syamsu. Dia membantah pernyataan Wakil Bupati Kotim Irawati yang sebelumnya menyebut penertiban miras terkendala regulasi yang belum disahkan.
”Dengan Perda Kotim Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol, sudah cukup melakukan penertiban. Jadi, tidak perlu lagi ada regulasi-regulasi lainnya,” tegas Dadang, Minggu (28/3).
Politikus Partai Amanat Nasional tersebut menjelaskan, dalam Pasal 27 Ayat 1 Perda Kotim 3/2017, menegaskan, penertiban dilakukan melalui tim yang dibentuk Bupati Kotim. Tim itu terdiri dari Satpol PP, Disperindag, DPMPTSP, Dinkes, Disbudpar, Kantor Bea dan Cukai, serta Polri.
”Semuanya jelas tertulis dalam perda itu. Jadi, saya kira, dengan dasar perda itu sudah bisa melaksanakan penertiban minuman beralkohol yang saat ini menjadi persoalan krusial yang dikeluhkan banyak orang,” ujar Dadang.
”Mari sudahi perdebatan soal regulasi, karena sudah jelas dan tegas ada regulasi dalam Perda Nomor 3 Tahun 2017 itu sebagai acuannya. Sekarang kita tunggu aksi nyata di lapangan, bukan hanya sekadar lempar sana-sini,” tegasnya lagi.
Menurut Dadang, sejak perda itu disahkan, belum pernah sama sekali digunakan untuk melakukan penindakan. Padahal, sanksi juga telah diatur, yakni pidana penjara bulan bulan dan paling lama enam bulan atau denda paling sedikit Rp 25 juta dan maksimal Rp 50 juta.
Sanksi itu juga bisa menjerat konsumennya, yang diatur dalam Pasal 38. Para pembeli bisa dipidana dengan kurungan paling singkat satu bulan dan paling lama tiga bulan atau denda paling sedikit Rp 25 juta dan maksimal Rp 50 juta.
Diberitakan sebelumnya, Wabup Kotim Irawati menyatakan siap melakukan razia miras ilegal apabila Raperda tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat disahkan menjadi perda. Pihaknya belum bisa turun ke lapangan karena terganjal belum adanya regulasi itu.
”Sejak awal saya sudah meminta ada atau tidak perda yang mengatur (terkait penertiban miras, Red), karena itu sebagai perlindungan bagi kami saat melakukan razia. Ternyata raperda itu tertahan di Dewan sejak 2019. Di Banmus juga belum ada pembahasan lagi,” kata Irawati, Jumat (26/3) lalu.
Irawati mengaku telah menghubungi Ketua DPRD Kotim Rinie agar raperda tersebut segera disahkan. Keberadaan perda itu dinilai sangat penting, karena mencakup berbagai permasalahan masyarakat, seperti sampah, prostitusi, gelandangan dan pengemis, serta miras.
”Mudahan DPRD cepat respons dan kami siap turun penertiban miras. Paling tidak dalam penjualannya ada pengawasan dari pemerintah, tidak sembarangan menjual,” katanya. (ang/ign)