PALANGKA RAYA - Hampir dua bulan blakangan ini, pedagang daging sapi tradisional yang ada di Kota Palangka Raya mengalami kehilangan omset hingga 30-40 persen. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Pemotong Ternak Sapi atau Kerbau (APPTS), Dede, hal ini dikarenakan penjualan daging beku yang merambah ke pasar tradisional, yang terkesan sembunyi-sembunyi.
Dikatakannya, pihaknya khawatir kondisi ini akan mematikan pedagang daging sapi tradisional dan tidak akan ada lagi pemotongan daging segar, seperti yang terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur.
"Saya juga melihat yang menjual daging beku di pasar ini sembunyi-sembunyi. Jadi saya pertanyakan izin mereka, apakah penyimpanan mereka standar," ucapnya saat dikonfirmasi di lapak dagangannya.
Sebagai tindak lanjut, sejauh ini pihaknya sudah menyurati Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan. Selanjutnya pihaknya juga akan mendatangi Dinas Perdagangan dan Wali Kota untuk meminta kebijakan, karena daging beku ini sudah masuk hingga ke pasar tradisional.
"Ada tiga titik penjualannya di Pasar besar ini, dan mereka buka biasanya malam hari antara jam 01.00 wib- 04.00 WIB. Kalau siang mereka sudah tutup. Maka dari itu kita sangat keberatan dengan keberadaan daging beku yang dijual di pasar tradisional," tegas Dede.
Sementara itu, salah satu pedagang daging lainnya yakni Sugiarti, juga mengaku resah karena pendapatannya turun 30 sampai 50 persen per-harinya. Hal itu terlihat dari pelanggan yang biasanya membeli daging sapi 10 Kg, sekarang hanya membeli 5 Kg.
"Kami sebagai penjual daging di pasar tradisional menyayangkan penjualan daging beku berada di pasar tradisional. Seharusnya berada di ritel atau pasar-modern yang ditempatkan di tempat khusus," ucapnya saat dibincangi.
Dirinya juga mengatakan, penurunan omset sangat terlihat dari jumlah pemotongan sapi, yang bisanya dalam sehari bisa memotong dua ekor sapi, saat ini satu ekor sapi pun tidak pernah habis terjual.
"Untuk sekarang dalam seminggu hanya 1 sampai 2 kali potong. Berbeda dengan dulu bisa memotong dua ekor dalam sehari. Kalau dipaksakan melakukan pemotongan seperti biasanya tidak akan laku, karena pemotongan ada biayanya," ujar Sugiarti.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri merespon hal ini. Ia menilai kondisi ini adalah hukum pasar. Dirinya menilai hal ini adalah masalah pilihan masyarakat bila ternyata masyarakat memilih yang lebih murah itu adalah hak mereka.
"Pasar penyeimbang ini diharapkan menjadi penetrasi, jangan sampai para pedagang pasar berlaku bebas. Maksudnya para pedagang menentukan harga sendiri, sementara pemerintah telah mempertimbangkan harga, dimana didalamnya sudah ada keuntungan bagi pedagang itu sendiri," pungkasnya.
Sementara ketika ditanya terkait solusi permasalahan tersebut dirinya memberi arahan yakni dengan menurunkan harga dengan mengacu hukum pasar. Yakni siapa yang lebih murah, itu yang dibeli. (agf/gus)