PANGKALAN BUN – Guna menjaga keberlanjutan alam, keanekaragaman hayati, sosial budaya, satwa langka, dan sebagainya PT. Korintiga Hutani laksanakan konsultasi publik High Coservation Value (nilai konservasi tinggi). HCV sendiri adalah nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kawasan baik itu lingkungan, maupun sosial, dan lain sebagainya.
Kegiatan yang merupakan tuntutan internasional itu bahwa setiap perusahaan harus mengidentifikasi nilai konservasi tinggi agar selanjutnya bisa dikelola dengan baik.
General Manajer PT KTH, Mr. Kim Geun Tai mengatakan, melalui konsultasi publik ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan, saran atau tanggapan terhadap penilaian HCV yang dilakukan oleh PT. Agrimas Palma Konsultan sehingga bisa berguna dan bisa menentukan arah pengambilan kebijakan perusahaan.
“Kami berharap konsultasi publik ini berjalan lancar dan bisa menghasilkan saran masukan sehingga menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan di areal perusahaan PT Korintiga,” bebernya.
Tim penilai HCV dari PT. Agrimas Palma Konsultan, sebelum dilakukan konsultasi public ini telah melakukan survei di areal perusahaan. Hasilnya mereka masih menemukan puluhan flora dan fauna langka, kondisi sungai dan lainnya. Banyak saran masukan dari peserta konsultasi publik yakni para Kepala Desa di Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kepala Desa di wilayah Kecamatan Mentobi Raya, Kabupaten Lamandau. Selain itu hadir juga dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta NGO, Orangutan Foundation Internasional (OFI).
Tim penilai dari PT. Agrimas Palma, Harnius Arief mengatakan bahwa setelah kegiatan ini pihaknya akan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang bisa dilaksanakan sehingga keberadaan alam, keanekaragaman hayati, flora fauna tetap terjaga dan dilestarikan dengan baik.
“Rekomendasi itu salah satunya adalah membangun koridor satwa, kemudian merehabilitasi kawasan yang sudah gundul dan sebagainya,” jelas Harnius.
Ia berharap setelah ini akan dibuat semacam taman atau arboretum yang di dalamnya terdapat beragam jenis flora fauna sehingga anak cucu di masa mendatang masih bisa melihat satwa langka dan keanekaragaman lainnya.
“Jangan sampai nanti anak cucu kita tidak tahu namanya Kayu Ulin, atau Kayu Kruing karena hanya tinggal namanya saja,” pungkasnya. (sam/sla)