Oleh: USAY NOR RAHMAD
SAYA bukan pecinta film. Bahkan jarang menginjakkan kaki di karpet bioskop. Terakhir, nonton Fast Furious 7 bersama teman-teman redaksi, itu terpaksa. #sayangteman. Ups masih ada lagi, film Cintai Aku Karena Allah, juga terpaksa. Ini karena #sayangistri.
Kini saya lagi-lagi dipaksa. Kali ini lebih tidak berdaya. Putri kesayangan mengajak nonton Frozen II. "Duh cobaan apa lagi ini. Kalau kepergok teman nih. Bisa jadi meme. 'muka sangar pecinta Frozen' bisa viral," begitu pikir saya.
Sesampainya di Citimall, bioskop satu-satunya di Sampit itu, saya berdiskusi singkat dengan istri memilih waktu tayang film pukul 19.10. Harapannya, di waktu segitu, si anak tidak ketiduran. Pulang tidak terlalu malam. Kan enggak lucu, nonton demi anak eh anaknya ketiduran. Masa saya harus "berdamai" dengan film putri-putrian berdurasi 100 menit lebih.
Kegelisahan saya sirna. Ternyata ada banyak anak perempuan di sana. Yang membuat saya lega, ada banyak bapak-bapak juga. Tentu para ayah itu datang karena diseret putrinya. Saya tidak sendiri menjadi yang terpaksa malam itu. Ada juga sekumpulan remaja lelaki yang mengajak adik-adiknya. Bahkan adiknya juga lelaki. Bakal banyak lelaki yang nonton film putri-putrian.
Setelah pesan tiket dan minuman kami pun masuk sinema. Film belum tayang. Lampu belum dimatikan. Penonton masih berdatangan. Masih terlihat jelas raut para ayah menuntun semringahnya anak menuju bangku sinema. Betapa tidak sabarnya mereka menyaksikan kisah kakak beradik Elsa dan Anna itu.
Saya sempat ragu, apa putri saya bakal mengerti jalan ceritanya. Maklum, masih belum bisa membaca. Saya juga ragu apakah bisa bertahan di bangku sampai akhir. Jangan-jangan nanti bakal bolak-balik toilet. Apalagi kemungkinan film ini bakal seperti drama musikal. Bakal seperti bollywood. Sedikit-sedikit nyanyi. Sedikit-sedikit nyanyi.
Ternyata saya salah. Dia justru tampak enjoy. Apalagi saat Olaf, tokoh boneka salju berhidung wortel itu bicara. Jenakanya selalu mengundang tawa. Bahkan anak saya yang tak membaca teks terjemahan. Demikian dengan anak perempuan lainnya. Pun dengan anak lelaki yang datang malam itu.
Saya juga salah. Ternyata tak sekejam bollywood. Lagu-lagu yang ada di film ini memaksa saya untuk betah. Hingga akhir menikmati dan kagum. Meski sampai akhir saya dalam hati bertanya kemanakah lagu Let It Go itu. Belakangan diberitahu anak bahwa lagu itu hanya ada di Frozen pertama hehe. #frozenIterlewat.
Lebih mengesankan lagi, saat Kristoff bernyanyi. Lagu Lost in The Woods. Di sini saya sempat terkagum. Disney begitu paham target penontonnya. Lagu patah hati dibawakan dengan cara pria. Bahasa saya : galau dengan cara jantan. Khas lagu-lagu yang didengar era generasi 1990-an. Tampaknya Disney sudah paham bakal banyak ayah-ayah yang terseret di film ini. Termasuk saya.
Lagu Into the Unknown, menjadi klimaks. Sekaligus menjawab suara misterius yang memanggil Elsa untuk petualangan besarnya. “Aaa.. aa..” begitu suara misterius itu. Tadinya saya sempat anggap seperti tembang lengsir wangi dalam serial Kuntilanak hehe. Ternyata itulah kuncinya. Memang Into the Unknown belum se-fenomenal Let it Go, tapi sepertinya sudah menuju ke situ. Buktinya “Aaa..aa” itu masih ditirukan anak-anak saat keluar bioskop.
Di film ini, Elsa sudah menjadi ratu. Ratu di Arandelle. Dia hidup bahagia bersama adiknya Anna. Ada juga orang di sekeliling yang membuatnya bahagia Kristoff, Olaf dan Sven.
Resah menghampiri Elsa. Dia sering mendengar suara misterius, “Aaa..aa”. Hanya dia yang bisa mendengar suara itu.
Dia pun mencoba menjawab panggilan suara itu. Ketegangan pun mulai terasa. Ternyata suara tersebut adalah roh api, roh angin, roh tanah, dan roh air. Mereka ini berasal dari hutan ajaib. Yang nantinya mengancam keberadaan Arandelle. Lewat kisah lama ayahnya Elsa dan Anna mencari potongan kisah masa lalu. Pertualangan pun dimulai.
Oh, tidak! Film putri-putrian ini mampu menahan 100 menit saya. Setidaknya tidak beranjak dari tempat duduk tanpa membuka gawai.
Harus saya akui, cerita di film ni cukup kompleks. Kita dibawa menengok masa lalu yang Elsa dan Anna tidak ketahui. Dari mana asal kekuatan hebat Elsa dan bagaimana orang tua mereka bisa meninggal? Semua jawabannya ada di sini.
Jalan ceritanya begitu mengalir. Suara misterius itu memaksa berubah. Elsa berubah. Elsa menggunakan kekuatannya untuk mengoreksi kesalahan keluarga di masa lalu. Demikian dengan adiknya Anna yang berubah menjadi pribadi yang lebih siap mengambil keputusan di detik-detik krusial. Kristoff menjadi berani menyatakan perasaannya untuk jadi suami Anna. Bahkan sang boneka salju Olaf yang jenaka menjadi lebih bijak dan merasakan kerumitan dunia.
Cukup sampai di situ, takutnya dikira spoiler. Cuma rasanya akan menyesal kalau tidak menulis. Ya ini lah momentumnya. Film ini sudah dirilis 20 November lalu. Tapi sampai Desember ini peminatnya masih banyak. Bahkan mungkin hingga Januari nanti. Melalui media sosialnya pihak bioskop atas permintaan banyak pihak terus menayangkannya.
Jadi, rasanya tepatlah kalau film ini ditayangkan hingga akhir tahun 2019. Biar bisa menjadi semacam kilas balik. Menghadapi tahun 2020, apakah kita perlu mendengar suara misterius itu untuk berubah. Atau, jangan-jangan, suara terompet Israfil.
”Harus ada perubahan. Sekalipun terpaksa. Dan seperti memang harus dipaksa,” begitu bisik misterius dalam hati. (instagram@oesgambut)