SAMPIT – Perayaan Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili tahun ini akan berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, hari besar warga keturunan Tionghoa itu dirayakan di tengah pandemi Covid-19, sehingga dilakukan secara virtual tanpa harus ke vihara atau kelenteng.
Sembahyang di vihara atau kelenteng hanya dilakukan oleh pengurus, salah satunya di Vihara Karuna Maitreya (VKM) Jalan Caman, Sampit. Persembahyangan dilakukan sebanyak dua kali, yakni Kamis (11/2) pukul 21.00 WIB dan Jumat (12/2) pukul 00.00 WIB.
”Hanya beberapa pengurus saja tahun ini. Hal ini mau tidak mau kami lakukan, karena situasi masih pandemi Covid-19," kata Ketua VKM Sampit Yohanto, kemarin.
Dia menuturkan, pada pukul 21.00 WIB dilakukan sembahyang tutup tahun puja bakti ritual Ci Nian, yaitu sembahyang pergantian tahun dari tahun tikus logam ke tahun kerbau logam. Kemudian, pukul 00.00 WIB sembahyang penyambutan tahun yang baru atau disebut puja bakti ritual Bai Nian.
”Ritual tersebut merupakan tanda syukur telah melalui tahun yang lalu. Selain itu, juga sebagai bahan untuk instrospeksi diri dari apa yang telah dilakukan di tahun sebelumnya," sebutnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pandemi Covid-19 membuat umat vihara tidak bisa merayakan pergantian tahun seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada pentas kesenian dari muda-mudi dan anak-anak sekolah minggu binaan VKM. Bahkan, pentas kesenian barongsai yang menjadi ciri khas perayaan Imlek pun ditiadakan.
”Umat vihara lebih dianjurkan untuk mengikuti ritual sembahyang dari rumah. Apalagi untuk lansia dan anak kecil, memang kami anjurkan tidak perlu ke vihara, karena mereka kategori yang rentan tertular virus," ujarnya.
Sebelum pandemi melanda, pengurus vihara biasanya melakukan silaturahmi secara langsung dengan mengunjungi kediaman umat vihara yang diawali dengan mengunjungi sanak keluarga. Di Tahun Baru Imlek 2572, pihaknya menyarankan umat vihara tidak merayakan secara besar-besaran, cukup di lingkungan keluarga, karena penularan Covid-19 masih terjadi.
”Pandemi Covid-19 ini tidak bisa dianggap sepele. Maka dari itu, kami imbau umat vihara melakukan silaturahmi secara virtual untuk meminimalisir penularan Covid-19," katanya.
Secara umum, ibadah di vihara dilakukan seperti biasa. Tidak ada larangan bagi umat untuk beribadah, namun dibatasi dan memberlakukan protokol kesehatan yang ketat.
Yohanto menambahkan, sebelum pelaksanaan ritual Ci Nian dan Bai Nian, umat vihara melakukan pembersihan vihara yang dimaknai dengan membersihkan rumah, yang artinya menyingkirkan nasib buruk dan membuat jalan baik untuk masa depan.
Pada Imlek tahun ini, ungkapnya, umat Budha Vihara Karuna Maitreya memanjatkan doa agar Bumi Habaring Hurung terus damai dan pandemi Covid-19 cepat berlalu. ”Semoga di tahun yang baru dianugerahkan kesehatan yang baik, kelancaraan, kesuksesan, dan semoga pandemi Covid-19 cepat berlalu," katanya.
Meski tidak ada perayaan khusus, sejumlah warga keturunan Tionghoa tetap melakukan berbagai persiapan. Pasalnya, Imlek merupakan tradisi nenek moyang yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, meski di tengah pandemi Covid-19.
”Saat lakukan tradisi bersih-bersih rumah untuk sambut rezeki dan keberuntungan, sekalian menggunakan disinfektan agar lebih aman dari virus Covid-19," kata Han Fu Kwang, warga keturunan Tionghoa di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang.
Kwang mengatakan, meski pandemi masih terjadi, tradisi leluhur seperti makan malam bersama keluarga atau disebut Sacapmeh tetap dilakukan dengan menghidangkan minimal tujuh macam jenis masakan. Semua jenis masakan tersebut syarat makna.
”Ada beberapa masakan yang wajib ada saat Sacapmeh, yakni mi yang melambangkan panjang umur dan sayuran hijau yang melambangkan rezeki, sedangkan ikan atau ayam lambangkan kemakmuran," terangnya.
Tidak ketinggalan buah dan telur yang melambangkan kesuburan dan kue keranjang yang melambangkan tali persaudaraan yang erat. Dalam Sacapmeh juga ada makanan yang paling dipantang untuk dihidangkan dari mulai Imlek sampai dengan Cap Go Meh atau tanggal 15 penanggalan Imlek.
”Makanan yang dipantangi, yaitu bubur lambang kemiskinan, pare lambang hidup pahit, dan bihun yang dimaknai sebagai lambang kehancuran baik dalam usaha maupun keluarga," tuturnya. (yn/ign)