Warga keturunan Tionghoa identik dengan dunia bisnis. Usaha diteruskan secara turun-temurun. Namun, sebagian generasi milenialnya mulai meninggalkan warisan itu, beralih pada profesi lain.
YUNI PRATIWI, Sampit
Bagi Eko Pratomo, bisnis bukan segalanya. Karena itulah, pemuda Tionghoa kelahiran Sampit 19 Januari 1995 ini memilih terjun ke dunia pendidikan. Padahal, latar belakang keluarganya rata-rata pebisnis. Dia mengambil jalur berbeda dengan menjadi tenaga pengajar.
Pria yang memiliki hobi main game ini menuturkan, keputusannya menjadi tenaga pendidik sempat dipertanyakan teman-temannya semasa kuliah dulu.
”Kata mereka saya nggak ada style guru, tapi buktinya murid-murid enjoy dengan pengajaran saya," ujar Eko.
Pria yang memiliki nama mandarin Bei Yong Xiang ini menuturkan, setiap ada murid angkatan baru yang masuk sekolah, pertama-tama yang dia lakukan memberikan penjelasan kenapa harus belajar bahasa Mandarin.
”Selama ini kita tahu bahwa bahasa internasional nomor satu adalah bahasa Inggris dan kedua bahasa Mandarin,” ucap Eko.
Menurut Eko, penguasaan kedua bahasa tersebut cukup penting. ”Kalau keluar negeri dan bisa bahasa Inggris, kalau bingung bisa tanya arah dan lain-lain. Nah, kalau Mandarin ini lebih mengarah pada bisnis," tuturnya.
Menurut anak ke tiga dari empat bersaudara ini, pangsa bisnis yang besar adalah China, ditambah dengan populasinya yang banyak. ”Sekarang juga mulai banyak orang China datang ke Indonesia untuk investasi. Apalagi mengerti dan bisa bahasa mereka, otomatis proses perjalanan bisnis atau kerja sama akan menjadi lebih lancar," ungkap Eko.
Eko menyebut, saat ini banyak produk "made in china", sehingga apabila bisa berbahasa Mandarin, otomatis peluang untuk bekerja sama juga akan lebih tinggi.
”Dulu saya mengenyam pendidikan di luar Kalimantan dalam waktu yang cukup lama. Lulusan bahasa Mandarin sangat dicari dan bahkan sampai detik ini masih sangat dicari berbagai perusahaan maupun institusi dan lembaga pendidikan di luar Kalimantan," ungkapnya.
Eko melanjutkan, kerja di luar Kalimantan sebenarnya agak menjanjikan kehidupan kariernya bagi lulusan bahasa Mandarin. Namun, saat lulus kuliah, dia terngiang kata-kata ibunya saat masih hidup. ”Beliau bilang, sekolah yang tinggi, nanti pulang bangun daerah,” ujarnya.
Menurut Eko, saat itu kesehatan ayahnya juga sempat menurun. Karena itu, dia mengambil keputusan pulang ke Kalimantan sambil kerja dan menjaga ayahnya. Setelah pulang ke Sampit, Eko membuka les bahasa Mandarin sambil jualan alat komputer.
”Jadi saat saya ngajar les, tokonya saya tutup. Selesai les, tokonya saya buka lagi," katanya.
Awal buka les, kata Eko, orang yang minat belajar Mandarin sangat sedikit. Namun, seiring waktu, sudah mulai banyak orang yang semakin melek belajar bahasa Mandarin. Dia lalu mulai mengajar di sekolah menengah hingga akhirnya fokus sepenuhnya pada dunia pendidikan setelah menutup tokonya.
Eko selalu berusaha menyampaikan ilmu yang selama ini sudah ia dapat. Hal itu agar anak daerah bisa lebih melek terhadap bahasa internasional dan siap menghadapi masa depan serta mampu bersaing secara global.
Lulusan S1 Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Ma Zhong Malang ini mengatakan, keluarganya selalu memberikan dukungan walaupun ayahnya sempat menentang. Namun, ibunya selalu berusaha meyakinkan sang ayah hingga Eko bisa sampai di titik sekarang. Keluarganya selalu mengarahkan Eko, serta selalu mengingatkan bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya.
”Semua keputusan ada di tangan saya. Keluarga mendukung keputusan apa yang saya ambil," imbuhnya.
Hal yang ingin Eko capai di bidang pendidikan tidak lain adalah pembentukan peserta didik. Dia ingin peserta didiknya mampu melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi di sekitarnya maupun secara global.
”Turut masuk juga ke dalam proses perubahan itu. Dimulai dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya belajar bahasa internasional," tandas Eko. (***/ign)