SAMPIT – Wibawa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) tercoreng akibat tak adanya penyelesaian dalam penyegelan Kantor Desa Kenyala. Sudah tiga bulan bangunan pemerintah itu disegel sejumlah warga setempat, namun belum ada solusi penyelesaian dari pemkab.
”Kalau kantor desa itu sudah disegel dan tidak bisa digunakan, di mana pemerintah? Di mana negara ini? Kantor desa itu adalah ujung tombak dan representasi pemerintahan yang berdaulat,” kata pengamat politik dan hukum di Kotim, Agung Adi Setyono, Senin (9/3).
Kantor desa tersebut disegel sejak 24 Desember lalu oleh sejumlah warga yang keberatan dengan hasil perekrutan perangkat desa. Aktivitas perkantoran terpaksa dipindahkan ke rumah kepala desa. Namun, hanya sebatas kegiatan kepala desa, sementara untuk kegiatan lain, seperti rapat dan lainnya tidak bisa digelar karena rumah tersebut terlalu kecil.
Menurut Agung, apabila sampai tiga bulan tidak ada penyelesaian, sama saja pemerintah daerah menunjukkan ketidakmampuan menyelesaikan masalah tersebut. Harusnya tak perlu sampai begitu lama, karena kantor desa merupakan simbol pemerintahan dan kedaulatan pemerintahan yang sah. Penutupan secara paksa kantor desa tersebut dinilai sama halnya dengan makar.
Agung menegaskan, harusnya pemerintah segera bersikap sejak masalah itu mencuat. Bahkan, dalam 1 x 24 jam, kantor desa tersebut sudah dibuka dari segelnya, bukan berlarut-larut hingga tiga bulan seperti sekarang. Kantor desa itu statusnya sama dengan kantor bupati, yakni merupakan objek vital pemerintah.
”Coba seandainya kantor bupati disegel. Nah, begitu pula halnya dengan kantor desa itu. Artinya, sedikit banyak pelayanan itu pasti terganggu. Ini saya kira jadi catatan sejarah, bahwa pemerintah termasuk aparat lamban menangani perkara itu,” ujarnya.
Agung menambahkan, apabila pemkab tegas dan berwibawa, masalah penyegelan tersebut bisa segera diselesaikan. Mengenai ada objek sengketa dan lain sebagainya, diberikan ruang hukum melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri.
”Pertanyannya sekarang, sampai kapan pun kantor desa itu tidak bisa selesai kalau pemerintah tidak tegas. Tidak ada ruang mediasi lagi kalau sudah menyegel, karena kantor itu milik pemerintah, bukan milik swasta,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Kenyala Sahewan Harianto mengaku sudah cukup berupaya agar kantor desa itu segera dibuka. Namun, dia memerlukan jaminan keamanan. Sebab, oknum yang menyegel kantor tersebut merupakan warga setempat. Dia juga sudah bersurat ke Pemkab Kotim dan melaporkan ke aparat setempat. Namun, hingga kini belum ada penanganan.
”Sudah hampir tiga bulan ini tidak ada aktivitas. Saya juga bingung mau diapakan dan dikemanakan pemerintahan desa seperti ini? Padahal, saya sudah lapor ke pemerintah daerah yang secara hirarki itu adalah atasan saya, tapi belum ada tindak lanjut penyelesaian,” kata Sahewan.
Sebelumnya, selain dipicu ketidakpuasan hasil seleksi perangkat desa, penyegelan itu juga merembet ke masalah lahan kantor desa. Sejumlah warga yang menyegel lantaran tanah kantor desa itu dinilai bermasalah. Kasus tersebut sudah pernah dimediasi di Kecamatan Telawang, namun tak membuahkan hasil. Sebab, saat pengukuran lapangan, justru pengklaim tidak hadir.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Hawianan menyesalkan penyegelan yang tidak ada titik temu tersebut. Padahal, sudah dilakukan mediasi di tingkat kecamatan, namun masih gagal.
”Sudah diupayakan penyelesaian di tingkat kecamatan dan tidak ada titik temu, karena keduanya tidak ada kata sepakat,” kata Hawianan.
Hawianan menuturkan, pemerintah tentunya tidak tinggal diam apabila persoalan itu berlarut-larut. Bahkan, perbuatan menghalangi kegiatan pemerintahan di tingkat desa bisa saja dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang berujung pidana.
Mengenai klaim lahan, Hawinan menyebutkan, hal itu sejatinya sudah ditangani pihak kecamatan. Tim kecamatan telah turun melakukan pengukuran ulang di atas lahan desa. Namun, oknum pengklaim justru tidak hadir.
Selain itu, kelompok penyegel melapor ke Ombudsman. Hasilnya, Ombudsman tidak menemukan pelanggaran seperti yang dilaporkan. ”Semua tahapan perekrutan hingga seleksi oleh pansel terhadap aparat desa semuanya sesuai ketentuan. Waktu penyampaian hasil dari Ombudsman itu, saya hadir,” kata Hawianan.
Berkaitan dengan keamanan perangkat desa, Hawinan menambahkan, hal itu bagian dari tugas aparat. ”Kalau soal rasa aman para kades, ada di aparat. Kami khawatirnya kalau kades yang membuka sendiri portal dan penyegelan, maka konflik akan terjadi di sana,” tandasnya. (ang/ign)