Sistem belajar secara daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) tak hanya membuat orang tua kerepotan. Tenaga pendidik juga ikut dibuat repot. Hal itu membuat mereka merasa ”jauh” dari siswa, karena tak bisa mengenal dengan baik peserta didiknya dan berharap kondisi itu segera berlalu.
=====
Ketua Yayasan Pendidikan Baiturrahim Karno Atmodjo melalui Plt Kepala Sekolah SD Islam Terpadu Baiturrahim Deslia Kartina Anwar mengatakan, tahun ajaran baru 2020/2021 yang dimulai 13 Juli 2020, tak lantas membuat pembelajaran tatap muka di sekolah kembali normal.
Sistem belajar daring tetap berjalan sejak pandemi Covid-19 menyebar. ”Mulai belajar dari rumah itu sudah sejak Maret. Tetapi, saat itu sekolah diliburkan dan terus diperpanjang karena pandemi. Setelah memasuki tahun ajaran baru Juli lalu, baru mulai benar-benar aktif belajar online," kata Deslia, belum lama ini.
Deslia menuturkan, PJJ membuatnya menjadi tidak begitu dekat mengenal karakter siswa, sehingga dia merasa kurang maksimal memberikan pola pembelajaran pada siswa.
"Saya kan kebetulan ngajar anak-anak kelas 1 SD. Waktu itu kan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) juga dilakukan secara daring. Sampai sekarang pun saya belum begitu mengenal karakter anak-anak bagaimana, hanya tahu dari nama. Itu pun tidak hafal semua," ujar perempuan yang sudah mengabdikan diri menjadi guru selama 10 tahun ini.
Deslia mengungkapkan, sistem PJJ membuatnya sulit memantau belajar siswa. Pasalnya, siswa kelas 1 SD masih memerlukan pendekatan secara langsung.
”Cara mengajar siswa kelas 1 tentu berbeda dengan siswa kelas 4. Siswa kelas 1 masih berpikir bermain, belum bisa menyesuaikan. Ketika kami ajak belajar online, malah main game," ujarnya.
Kendati demikian, Deslia memahami karakter siswa kelas 1 SD. Setiap guru selalu memberikan tugas rutin setiap satu atau dua hari sekali. Tugas itu dikumpulkan seminggu dua kali.
”Kami sangat memaklumi anak-anak khususnya kelas satu SD. Tetapi, kami tetap memberikan tugas rutin. Sehari mata pelajaran hanya dua dan kami upayakan tidak memberatkan siswa, apalagi orang tuanya," ujarnya.
Deslia menuturkan, selama PJJ, guru tetap mengajar di sekolah seperti biasa, yakni mulai pukul 06.30-14.00 WIB. SD Islam Terpadu Baiturrahim menyediakan 18 rombongan belajar mulai dari kelas 1-6 SD. Masing-masing rombel terdiri dari 32 siswa.
”Guru pengajar ada lima, termasuk staf dan hanya lima yang berstatus PNS," terangnya.
Setiap guru, lanjutnya, memiliki kendala selama mengajar. ”Repotnya guru karena harus menyiapkan materi melalui video dan menyampaikan melalui kelas online. Tetapi, pembelajaran kelas online ini juga agak repot, karena tak semua siswa punya handphone. Rata-rata handphone orang tua yang dipakai," ujarnya.
Kendala jaringan internet serta beban biaya belanja kuota internet juga menjadi persoalan, pemerintah pusat memberikan subsidi kuota gratis bagi siswa untuk 35 GB dan guru 42 GB yang disalurkan selama 4 tahap sejak September sampai dengan Desember. ”Wifi sudah ada tetapi terkadang masih lambat internetnya," ujarnya.
Pada dasarnya, lanjut Deslia, siswa sudah merasa jenuh belajar di rumah dengan sistem PJJ. Namun, pandemi Covid-19 membuatnya tak bisa memberikan alternatif pilihan selain mematuhi protokol Covid-19 sesuai anjuran pemerintah.
”Kami mengakui sistem PJJ ini tidak bisa berjalan maksimal. Anak-anak juga sudah mulai jenuh belajar. Penilaian akademik juga tidak bisa dilakukan secara terukur, karena kami memahami kondisi anak-anak di masa pandemi ini," ujarnya.
Tenaga pendidik mengaku sudah rindu mengajar seperti hari-hari normal biasanya. ”Rindu juga mengajar seperti biasanya. Anak-anak yang tidak bersemangat sekolah juga saya datangi ke rumahnya. Saya tanyakan apa masalahnya," ujar Wagiman, Guru Kelas 4 SD Islam Baiturrahim.
Wagiman juga tak jarang menerima keluhan dari orang tua siswa yang kerepotan mengurus anak belajar daring. ”Orang tua ngeluh kerepotan. Angkat tangan membimbing anak belajar di rumah. Kalau ada tugas dari guru sih dikerjakan, tapi saya juga tidak bisa memantau, itu dikerjakan sendiri atau orang tuanya yang mengerjakan," ucapnya sambil bercanda.
Pihak sekolah juga memberikan toleransi bagi orang tua siswa yang keduanya sibuk bekerja. ”Siswa boleh datang belajar ke sekolah, tapi tidak boleh lebih dari lima siswa dalam satu kelas," ujarnya.
Kerepotan orang tua dialami Siti. Dia mengaku tidak bisa sepenuhnya mendampingi anak selama di rumah karena harus bekerja. ”Anak saya ada dua. Yang pertama SMA sudah bisa dilepas dan punya tanggung jawab. Tetapi, adiknya yang masih kelas 5 SD cukup buat saya kerepotan," ujarnya.
Siti terpaksa harus menitipkan anaknya selama ditinggal bekerja. ”Anak saya yang nomor dua saya titip ke kakeknya kalau sedang bekerja. Saya juga tak bisa kontrol anak setiap saat," ujarnya.
Siti menuturkan, sistem belajar daring kurang efektif dijalani siswa SD. ”Selama belajar itu, anak cenderung aktif sendiri. Dia fokus mendengarkan hanya sepuluh menit, setelah itu tak efektif karena tidak ada yang membimbing secara langsung. Jadi, saya kira pembelajaran daring masih belum tepat diterapkan untuk anak SD," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus memberikan solusi agar siswa tetap bersemangat belajar dan sesekali menjadwalkan pertemuan terbatas untuk menghindari rasa jenuh selama belajar dari rumah.
”Entah sampai kapan sistem belajar seperti ini akan berakhir. Kalau begini terus, lama-lama anak-anak, terutama SD bisa jenuh. Saya berharap sekolah minimal seminggu sekali buat pertemuan terbatas agar anak-anak tetap punya semangat belajar," tandasnya. (hgn/ign)