SAMPIT - Jumlah layanan kesehatan JKN dari tahun ke tahun meningkat. Selama tahun 2019, mencapai 433,4 juta layanan atau 1.187.551 layanan per hari kalender. Rinciannya, 337,7 juta layanan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), 84,7 juta layanan rawat jalan pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL), dan 11 juta layanan rawat inap pada FKRTL.
”Secara nasional akses rawat inap meningkat rata-rata 13,2 persen per tahun, sedangkan akses rawat jalan meningkat rata rata 2,3 per tahun,” kata anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqien saat acara Media Workshop BPJS Kesehatan yang digelar secara virtual pekan lalu.
Kondisi berbeda terjadi di tahun 2020. Jumlah layanan untuk peserta JKN turun signifikan. Pada periode Januari-Agustus 2020, jumlah layanan di FKTP baru 194,5 juta. Sedangkan akses layanan di FKTRL atau rumah sakit baru mencapai 6,2 juta.
Penurunan jumlah kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan ini diduga sebagai dampak pandemi Covid-19 yang melanda sejak Maret lalu. Warga yang sakit enggan ke fasilitas kesehatan karena ada kekhawatiran terpapar Covid-19. Bisa juga khawatir didiagnosis terkena Covid-19.
Dilihat dari kondisi sosial ekonomi peserta, peserta JKN yang mengakses rawat jalan maupun rawat inap adalah 40 persen warga miskin, 40 persen warga ekonomi menengah, dan 20 persen warga berstatus kaya.
Lebih lanjut Muttaqien mengatakan, ada sejumlah tantangan pelaksanaan program jaminan sosial. Diantaranya jumlah peserta tidak aktif atau berhenti membayar iuran cukup tinggi. Sistem monitoring dan evaluasi masih persial dan belum terintegrasi dengan baik. Harmonisasi regulasi, tingkat kepatuhan, dan lembaga pengawasan masih perlu dioptimalkan lagi.
Terkait dengan rencana penerapan single class atau kelas rawat inap JKN, seharusnya mulai dijalankan tahun 2019. Pada era JKN yang dimulai 1 Januari 2014, kelas rawat inap JKN tidak langsung diterapkan karena mempertimbangkan bahwa kelas perawatan di rumah sakit masih terbagi atas kelas 1, kelas 2, dan kelas 3, sehingga perlu penyesuaian secara gradual.
”Dalam peta jalan JKN, semestinya implementasi kelas rawat inap JKN dapat dicapai 2019, namun hingga kini belum dilaksanakan,” ujar Muttaqien.
Pada tahap pertama konsep kelas standar dibedakan antara kelas standar A dan kelas standar B. Perbedaanya hanya pada luas ruangan dan jumlah tempat tidur dalam satu ruangan dengan tetap mengacu pada tujuh dimensi mutu yang direkomendasikan WHO. Untuk kelas A, minimal luas ruang per tempat tidur adalah 7,2 meter persegi. Sedangkan kelas B minimal luas ruang per tempat tidur 10 meter persegi. Jumlah maksimal tempat tidur per ruangan untuk kelas A adalah enam, sedangkan kelas B ada empat tempat tidur.
”Hanya luas ruangan dan jumlah tempat tidur per ruangan yang membedakan kelas A dan B. Lainnya sama semua,” ujar Mutaqqien.
Jumlah rumah sakit di Indonesia saat ini mencapai 2.860. Rumah sakit yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 2.235 dan yang belum bekerjasama ada 625.
Berdasarkan kelas perawatanya, jumlah tempat tidur rawat inap saat ini didominasi oleh kelas III. Kelas I sebanyak 44.746 tempat tidur, kelas II sebanyak 58.969, kelas III ada 123.876, VIP ada 26.129, dan VVIP ada 8.481 tempat tidur. Sedangkan jumlah tempat tidur pada rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kelas I ada 45.489, kelas II ada 57.670, dan kelas III ada 118.38 tempat tidur.
Implikasi penerapan kelas rawat inap JKN pada aspek pembiayaan yakni berpeluang mengurangi potensi kecurangan (fraud) INA-CBGs akibat peberdaan kelas perawatan. Tarif INA CBGs tidak lagi dibedakan berdasarkan kelas perawatan. Proses perhitungan iuran, perhitungan tarif, dan klaim manfaat menjadi lebih sederhana.
Sementara itu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, fasilitas kesehatan harus konsisten menjaga pelayanan sesuai standar, meski di tengah pandemi. Tidak ada alasan faskes menurunkan pelayanan. Bahkan standar pelayanan harus plus protokol kesehatan guna mengantisipasi pandemi Covid-19.
Faskes harus mengoptimalkan pelayanan berbasis digital, untuk mengurangi kontak langsung dengan pasien atau calon pasien. Melalui pelayanan digital tersebut, faskes juga bisa mengoptimalkan pelayanan preventif promotif.
Tulus mengatakan, 175 juta masyarakat mengakses internet. Relevan dengan pandemi Covid-19, faskes harus mewujudkan proses bisnis berbasis digital.
”Saat ini jumlah kunjungan pasien ke faskes menurun, karena pasien takut terjadi transmisi Covid-19,” ujar Tulus saat memberi paparan dalam Media Workshop BPJS Kesehatan.
Layanan berbasis digital juga untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan kepada pasien, misalnya terkait antrean tindakan medis, ketersediaan kamar, dan lain lain. Sistem digital pun bisa mewujudkan efisiensi pelayanan.
Menyikapi defisit antara pendapatan iuran dan biaya pelayanan yang selama ini terjadi, YLKI menyarankan BPJS Kesehatan mengulik peserta atau calon peserta dari badan usaha yang masih bandel. Selain itu, mengoptimalkan penagihan pada konsumen kelas mandiri yang macet, mengoptimalkan pengawasan bagi faskes yang diduga melakukan kecurangan, menekan tingginya klaim dari golongan penyakit katastropik, dan mengoptimalkan cleansing data dari golongan penerima bantuan iuran (PBI).
Terkait rencana single class untuk peserta JKN, pelaksanaan harus bertahap. Bisa dimulai dari Pulau Jawa dulu, karena infrastruktur rumah sakit di Jawa lebih siap. Jumlah dokter dan dokter spesialis belum merata di luar Jawa, sedangkan di Jawa sudah siap.
YLKI juga meminta adanya manajemen penanganan komplain. Misalnya, kemudahan dan keragaman akses pengaduan konsumen/pasien, adanya tindak lanjut dan penanganan pengaduan yang konsisten.
”Diperlukan review kebijakan internal yang berbasis pengaduan pengaduan tersebut. Juga diperlukan momen khusus, seperti bulan pengaduan), untuk menjaring aspirasi publik lebih banyak,” saran Tulus. (yit)