Dikenal dengan ciri khas aksi kesurupan membuat kesenian kuda lumping (jaranan) tetap digandrungi masyarakat. Alunan gendang dan gamelan bertalu-talu selalu menarik warga untuk berkumpul. Namun selama pandemi ini, aksi mereka terhenti. Tak ada lagi aksi makan gabah, makan beling hingga mengunyah bara api.
SLAMET HARMOKO, Pangkalan Bun
Semua jadwal pementasan mereka dibatalkan. Padahal semua rencana naik pentas itu telah tersusun rapi selama satu tahun sesuai dengan jadwal pertunjukan panggilan dari masyarakat yang ingin hajatan mereka dilengkapi kesenian jaranan.
“Semua jadwal untuk tampil di acara sunatan, pernikahan, hingga acara ulang tahun desa dibatalkan semua,” ungkap Hendi Nurseno, Ketua Paguyuban Kuda Lumping Turonggo Manunggal Budoyo, di Desa Sungai Pakit, Kecamatan Pangkalan Banteng, Kotawaringin Barat.
Selain kegiatan hiburan untuk acara keluarga, rencana penampilan gratis untuk hiburan warga saat lebaran dan tahun baru akhirnya juga tidak terlaksana. “Wabah ini sangat terasa bagi kami, saat yang lain mulai mendapat izin. Kita seolah masih digantung antara boleh dan tidak,” katanya.
Menurutnya saat ini sejumlah acara yang menghadirkan penampilan organ tunggal sudah mulai diperbolehkan, pembukaan wisata alam dan tempat wisata lainnya juga telah berlangsung. “Tapi sampai sekarang kita belum mendapat izin secara resmi. Kalau mau mengajukan yang keluar antara diizinkan dan tidak. Kami sendiri yang serba salah,” lanjutnya.
Ia menyadari bahwa kesenian yang digelutinya akan membuat masyarakat berkumpul dan berpotensi menjadi tempat penyebaran Covid-19. “Dari sini kami butuh pendampingan bagaimana caranya agar kami bisa tampil tapi protokol kesehatan bisa terjaga,” harapnya.
Meski hampir setahun ini terseok-seok karena minimnya pemasukan untuk kas paguyuban untuk kelangsungan operasional. Hendi menegaskan bahwa kepengurusan tetap berjalan, dengan segala macam penghematan. “Organisasi tetap jalan, latihan masih berlangsung tanpa pengeras suara agar tidak menarik kedatangan warga,” katanya.
Untuk bertahan selama masa pandemi, paguyuban hanya mengandalkan iuran dari anggota. “Kita mencoba mengajukan bantuan ke dinas, semoga mendapat bantuan peralatan dan juga ada dana pembinaan. Karena secara umum paguyuban kesenian ini juga sangat terdampak Covid-19,” harapnya.
Selain belum mempunyai keberanian untuk kembali keluar dan berkegiatan, Hendi menuturkan bahwa mereka merasa belum terlalu terfasilitasi untuk menggelar pertunjukan secara daring. Pihaknya berharap ada perhatian berupa penampilan secara daring agar kesenian tetap dikenal dan terjaga.
“Kalau intinya hanya minta Tuhan saja untuk tetap menjaga kelestarian itu. Dalam hati kita semangat tapi sekarang biar bertahan dulu. Syukur kalau rampung pandemi Covid-19 bisa berkembang lagi. Untuk pertunjukan lagi biar diberi Tuhan saja. Kalau ada yang manggil lagi kita datangi kalau tidak ya kita latihan rutin saja,” tandasnya.
Setali tiga uang, hal serupa juga diungkapkan Sujarno. Punggawa paguyuban Kuda Lumping di Desa Natai Kerbau ini juga merasakan tekanan hebat akibat pandemi. Kakek dua cucu ini menuturkan bahwa sebagai bentuk patuh dan taat kepada aturan yang telah ditetapkan pemerintah, salah satunya agar tidak membuat kerumunan. Ia juga membatalkan semua permintaan penampilan mereka. “Kesepakatan juga muncul dari warga sekitar yang setuju untuk menghentikan kegiatan seni budaya sementara waktu, karena kesenian ini sebagian besar melibatkan warga,” katanya.
Padahal jika kondisi normal, di desa tersebut penuh dengan agenda kesenian dari warganya sendiri. Pasalnya memang wilayah ini mempunyai berbagai potensi seni dan budaya. “Penampilan terakhir kami di awal tahun 2020, setelah itu tutup semua. Jadwal pertunjukan dibatalkan dan untuk tahun 2021 ini juga masih mengambang, semua belum jelas,” katanya.
Sementara di usia yang tak lagi muda ini, Sujarno mulai sedikit mundur dari pelaku utama. Ia lebih cenderung mengurus administrasi peguyuban dibanding mengajarkan tari jaranan. Menurutnya semua ilmu kesenian telah ia turunkan ke anggotanya yang kini sebagian besar memasuki usia matang. “Untuk menjaga agar tidak lupa gerakan, latihan tetap jalan dengan pembatasan,” lanjutnya.
Menurutnya melatih anak-anak zaman sekarang berbeda dengan masa mudanya dulu. Meski peminat (penonton) selalu membeludak saat pagelaran kesenian tradisional itu, namun kesulitan mencari penerus masih mengancam. Anak-anak saat ini cenderung memilih kesenian modern atau bahkan lebih menyukai permainan elektronik ketimbang kesenian daerah. “Anak-anak kecil sekarang tidak seperti jaman saya dulu, minat untuk kesenian jaranan ini masih rendah,” katanya.
Selain itu kendala lain untuk membesarkan kesenian ini adalah pandangan orang kalau jaranan itu berbahaya. Pelakunya selalu kesurupan dan dianggap kesenian kotor. “Padahal jaranan itu ada tari-tarian yang jauh dari mistis. Bahkan gerak dan iramanya sangat merdu. Seperti jaranan pegon, senterewe itu kan hanya tarian saja. Tidak ada kesurupannya,” lanjutnya.
Meski sebagian orang menganggap jaranan adalah kesenian warga pinggiran, ia dan anggota kelompoknya ingin membudayakan tarian jaranan yang bersih, jaranan seperti layaknya sendra tari kesenian tradisional pada umumnya. ”Kita tidak ingin jaranan dianggap sebagai kesenian kelas bawah, oleh karena itu tiap ada gelaran acara kita sempatkan untuk tampil. Meski bayaran yang didapat hanya untuk kas kelompok saja,” katanya. (*)