SUKAMARA-Perusakan makam leluhur warga Dayak di Desa Kenawan, Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara yang dilakukan oleh PT Menthobi Makmur Lestari (MMAL) berbuntut panjang. Mediasi antara anak perusahaan Grup Maktour itu dengan ahli waris tidak menemui titik terang. Sejumlah warga juga merasa dilecehkan setelah pihak perusahaan sawit menawarkan tali asih berupa uang senilai Rp100 juta atas kerusakan 13 makam tersebut.
Tawaran pemberian tali asih diutarakan Humas PT MMAL Daniel kepada ahli waris dalam pertemuan yang membahas penyelesaian kasus itu di balai desa setempat.
Menurut Daniel, tawaran uang Rp100 juta merupakan tali asih kepada ahli waris yang makam leluhurnya tak sengaja dirusak. Jumlah tersebut merupakan ganti rugi untuk 13 makam yang rusak.
“Kami dari perusahaan mampunya hanya Rp100 juta untuk 13 makam itu, bantuan ini sebagai bentuk tali asih kepada ahli waris,” kata Daniel.
Daniel menjelaskan, jumlah tersebut merupakan tawaran yang diajukan perusahaan menyesuaikan kemampuan keuangan perusahaan. Namun keputusan ada ahli waris, menerima atau tidak.
“Jadi ini bukan ganti rugi, tapi tali asih, karena kami menggarap di lahan milik sendiri, ada dasarnya,” jelasnya.
Terhadap tawaran itu, semua ahli waris sepakat menolak. Bahkan pihaknya justru menganggap tawaran tersebut sebagai bentuk pelecehan bagi masyarakat adat Dayak.
“Semua makam yang dirusak dihargai Rp100 juta, ini tidak masuk akal, sementara warga harus menggelar ritual adat dan merawat makam-makam tersebut,” ujar Juran.
Menurutnya, tawaran dari pihak MMAL sangat melecehkan pihaknya selaku keluarga ahli waris. Apalagi nilai tawaran itu tidak sebanding dengan sejarah dari makam-makan tersebut.
“Ini bukan maksud untuk bisnis, tapi kami punya kewajiban untuk merawat kembali makam yang sudah dirusak itu, dibuat ritual adat, kalau tidak akan berdampak pada anak cucu, bisa terkena bala-nya, dan yang terpenting bahwa makam ini bernilai sejarah bagi keluarga kami,” pungkasnya.
Konflik ini mendapat sorotan dari organisasi pemberdayaan masyarakat dan lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng. Walhi menilai tindakan yang dilakukan oleh PT MMAL dengan memanfaatkan lahan di atas makam leluhur warga lokal tidaklah etis. Pihaknya menyebut tindakan yang dilakukan PT MMAL tidak mematuhi syarat pembukaan lahan perkebunan. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Bayu Herinata.
“Tindakan yang dilakukan pihak perusahaan itu merupakan salah satu contoh bahwa praktik perkebunan kelapa sawit di Kalteng tidak dijalankan sesuai aturan atau tahapan yang berlaku,” ungkap Bayu kepada Kalteng Pos lewat pesan suara WhatsApp, Minggu (11/6).
Sebab, kata Bayu, jika perusahaan bersangkutan memang memenuhi syarat pembukaan lahan perkebunan, maka konflik-konflik seperti ini tidak terjadi. Pada tahap awal, saat perusahaan diberikan tanggung jawab pengelolaan lahan, sebelum lahan digarap, lanjut Bayu, pihak perusahaan seharusnya mengecek dahulu kondisi lahan, dari sisi geografis maupun administrasinya.
“Kalau dari proses awal, misal perusahaan sudah mendapatkan izin lokasi dari pemerintah, maka pihak perusahaan itu mempunyai kewajiban mengecek kondisi areal yang akan mereka garap itu, baik mengecek peta geografis, legalitas kepemilikan, dan perlindungan tempat-tempat yang perlu dipertahankan, salah satunya makan leluhur,” jelas Bayu.
Menurutnya, pernyataan dari pihak perusahaan yang menuding warga setempat tidak memberitahukan perihal keberadaan makam di areal lahan yang digarap, tidaklah etis. Sebab, perusahaan memiliki kewajiban untuk mengecek terlebih dulu sebelum menggarap.
“Terkait dengan pernyataan bahwa masyarakat tidak memberitahukan di lahan itu ada makam adat, pernyataan itu tidaklah pantas, bahkan pernyataan demikian makin memperjelas bahwa mereka (perusahaan, red) tidak menjalankan pengelolaan kebun yang benar,” tuturnya.
Bayu berpendapat, untuk mengatasi konflik vertikal antara masyarakat dengan pihak perusahaan ini, perlu peran serta pemerintah. Hal ini, lanjut Bayu, sesuai dengan aturan perkebunan berupa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalteng Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan.
“Dalam perda itu tertera tahapan-tahapan yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan perusahaan,” ucapnya.
Selain lewat pemerintah, lanjut Bayu, masyarakat setempat juga bisa membuat laporan atau komplain kepada pihak terkait yang membawahi organisasi perkebunan di Indonesia, yakni Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Kalau tidak salah, PT MMAL termasuk member atau anggota RSPO, mohon dicek lagi, mekanisme komplain bisa dilakukan masyarakat ke RSPO, sehingga bisa mendapatkan penyelesaian konflik, selain lewat pemerintah,” ujarnya.
Mengenai penyelesaian masalah melalui sidang adat, sebagaimana yang dikemukakan pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng beberapa waktu lalu, Bayu menyebut solusi demikian bisa saja diambil. Namun mekanismenya harus disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
“Sidang adat bisa menjadi salah satu cara untuk memperjelas persoalan, memfasilitasi berbagai pihak, serta menyelesaikan konflik antara masyarakat dan perusahaan, kalau memang dirasa perlu, bisa saja dilakukan upaya penuntutan atau penyelesaian dengan cara demikian, tapi mekanisme penyelesaian ini harus disepakati bersama,” tambah Bayu.
Menurutnya pihak aparat penegak hukum dapat melakukan penyelidikan atas keabsahan dan bukti dokumen yang dimiliki perusahaan terkait hak menggarap lahan di lokasi tersebut.
“Persoalan ini bisa juga diperdalam oleh pihak berwenang seperti aparat kepolisian, mereka bisa melakukan penyelidikan terkait dugaan-dugaan pemalsuan dokumen dan lain-lain,” tandasnya. (lan/dan/ce/ala)