SAMPIT - Kebenaran melawan kejahatan menjadi tema perayaan Hari Raya Galungan. Umat Hindu di Sampit memperingatinya dengan sembahyang bersama di Pura Tri Buana Putra, Jalan Teratai IV, Sampit, Rabu (7/9).
“Perayaan dalam rangka kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan atau hal tidak baik),” ucap Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Kotawaringin Timur I Gede Sukadana.
Dari tahun ke tahun, secara kualitas dan kuantitas umat bertambah. Kendati kuantitas sama, tapi tingkat kesadaran bakti umat atau iman semakin tebal. Ini terlihat dari banyaknya umat yang datang ke pura.
Gede menerangkan, tidak ada tradisi khusus pada puncak Galungan. Mereka hanya sembahyang, lalu silaturahmi ke kerabat dan teman. Namun, sebelumnya ada rentenan acara. Sejak tanggal 1 Sepetmber lalu, diadakan sugihan jawa yaitu persembahan kepada alam semesta dengan cara membersihkannya. Kemudian, tanggal 2 sugihan bali yaitu persembahyangan di kediaman sebagai ajang membersihkan keluarga secara lahir batin.
Kegiatan berlanjut tanggal 4 penyekeban yaitu kegiatan mempersiapkan buah-buahan supaya matang saat disajikan di Hari Raya. Pada tanggal 5 penyajan (membuat jajanan) dan tanggal 6 penampahan (memotong hewan seperti ayam dan itik untuk kegiatan Galungan).
“Besok lanjut hari umanis galungan atau hari kedua diisi dengan ritual di kediaman masing-masing,” kata Gede.
Ciri khas Galungan adanya penjor atau bambu hias sebagai simbol naga basuki yang biasa dipasang di depan rumah atau Pura. Paling meriah perayaan di Bali karena mayoritas penduduknya beragama Hindu dan banyak Pura untuk beribadah. Meski kebanyakan umat sembahyang sendiri tidak bersama atau berjamaah. “Rangkaian kegiatan di Kotim sama saja seperti di Bali, tapi tingkat keramaiannya sulit disamakan,” ucap Gede.
Hal inilah yang dirasakan keluarga Made Sumbrig Adipura, warga asli Bali yang tinggal di Sampit sejak tahun 1998. Dulu, Made merayakan Galungan di Bali sangat meriah. Usai sembahyang, dirinya berkunjung ke tempat kerabat dan rekan untuk makan bersama.
“Iya kangen, semua orang punya keinginan pulang ke Bali kumpul keluarga terutama orang tua. Makan-makan sambil silaturahmi,” jelas Made di kediamannya.
Made juga merindukan masakan khas Bali yang biasa dimasak saat Galungan yaitu lawar. Sayur khas itu selalu hadir sebagai santapan pelengkap. Sementara, tradisi itu tidak dilakukan di Sampit. Keluarga Made cukup menyediakan jajanan khas seperti ketan dan tape. “Khusus umat Hindu di Kotim hanya silaturahmi di Pura. Kalau di Bali ke rumah warga dan saudara. Ramai, di sini sepi,” tukasnya mengakhiri obrolan. (ara/yit)