SAMPIT – Perusahaan sawit PT Mukti Sawit Kahuripan (MSK) yang beroperasi di Kecamatan Cempaga Hulu diduga telah melanggar undang-undang ketenagakerjaan. Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli mengatakan, dugaan pelanggaran tersebut terungkap saat puluhan buruh perusahaan sawit PT MSK tersebut melakukan unjuk rasa ke DPRD.
”Pelanggaran itu berupa perubahan sistem pengupahan terhadap buruh petik dan angkut buah kelapa sawit secara sepihak,” ujar Jhon, kemarin.
Menurut Jhon, perubahan sistem pengupahan buruh angkut buah kelapa sawit tersebut dilakukan sepihak dan tanpa kesepakatan dari pihak buruh. Akibatnya, ratusan buruh mengalami kerugian, yakni berkurangnya upah yang diterima.
Jhon mengungkapkan, dengan diubahnya sistem pengupahan tersebut, maka pihak PT MSK telah mengingkari atau melanggar kesepakatan awal yang tertuang dalam perjanjian kerja dengan buruh.
Dalam perjanjian awal kerja disepakati, sistem pengupahan dengan tujuh jam bekerja per sehari dengan jumlah angkut sebanyak 4 ton buah kelapa sawit dan 25 hari kerja dalam satu bulan. Namun, dalam perjanjian yang baru, disebutkan, dalam sehari tujuh jam kerja dengan jumlah angkut sebanyak 7 ton.
”Dalam permasalahan ini, kita, DPRD Kotim, telah merekomendasikan kepada pihak perusahaan untuk kembali ke aturan yang lama, yakni tujuh jam kerja dengan jumlah angkut sebanyak empat ton,” katanya.
Jhon meminta Pemkab Kotim melakukan pengawasan sistem pengupahan di PT MSK dan perusahaan sawit grup PT Makin lainnya. Jika tidak melaksanakan rekomendasi tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus diberikan sanksi.
Sebelumnya, Perwakilan PT MSK, Marianto, mengakui perubahan sistem pengupahan tersebut di luar kesepakatan buruh. ”Benar aturan itu tanpa kesepakatan buruh, dan hal itu kita lakukan karena kondisi keuangan perusahaan yang sedang bermasalah atau tidak sehat akibat hasil panen yang menurun hingga 50 persen, dan hal itu terjadi sejak 2014 lalu,” ujarnya, Senin (26/9).
Menurunnya hasil produksi tersebut akibat dampak perubahan cuaca tidak menentu, sehingga tanaman kelapa sawit banyak yang tidak berbuah. Jika sistem pengupahan tak berubah, perusahaan dikhawatirkan bangkrut. Namun, Marianto mengaku tetap melakukan beberapa perubahan dan menyesuaikan aturan perundangan. (ang/ign)