SAMPIT – Sengketa lahan yang marak terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menduduki peringkat kedua di Kalimantan Tengah (Kalteng) setelah Palangka Raya. Hal itu terjadi karena lemahnya pemahaman masyarakat tentang regulasi dan undang-undang yang ada.
Ketua Ombudsman RI perwakilan Kalteng Thoeseng TT Asang mengatakan, tingginya sengketa juga disebabkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah, bahkan terhadap aparatur desa terkait prosedural. Kemudian, mendapatkan surat keterangan tanah kepada masyarakat tergolong kurang, sehingga sengketa antarwarga sering ditemui.
”Ditambah juga pendekatan secara budaya juga kurang. Kasusnya dibiarkan berlama-lama hingga akhirnya terjadi konflik. Padahal, dengan melakukan pendekatan budaya, kepala desa seharusnya dapat menyelesaikan konflik tersebut secara adat,” katanya, saat menghadiri diskusi mengenai pengakuan hak atas tanah di Kotim, Selasa (11/10).
Meski banyak terjadi permasalahan, ungkap Thoeseng, kasus mengenai pertanahan yang masuk ke pihaknya tidak banyak, namun kualitasnya luar biasa. Sebabnya, masyarakat takut melapor.
”Makanya kita punya motto, jangan takut melapor, karena melapor itu hebat,” ujarnya.
Menurutnya, diskusi mengenai pengakuan hak atas tanah tersebut dilakukan dengan mengumpulkan perangkat desa, damang, lurah, hingga camat se-kabupaten. Diharapkan kegiatan itu dapat menjadi wadah yang menyediakan cara untuk menekan jumlah kasus sengketa di Kotim.
Selain itu, dia juga mengimbau agar tidak mengabaikan hak masyarakat serta mendorong pemenuhan kewajiban, sehingga dalam pemerintahan semua hal berjalan berimbang. ”Misalnya seperti mengurus tanah, kewajiban mereka otomatis membayar tanah. Lalu saat mengurus sertifikat pertanahan, otomatis ada biaya yang keluar dari masyarakat dan ada PAD yang masuk. Perputaran antara hak dan kewajiban itu seharusnya memang berimbang,” pungkasnya. (sei/ign)