SAMPIT – Masyarakat Kota Sampit terus berupaya mempertahankan tradisi membuat dan memakan bubur asyura setiap 10 muharam atau sering disebut hari Asyura. Tradisi turun temurun dari nenek moyang itu terus dilestarikan untuk anak cucu generasi penerus selanjutnya.
”Tradisi memasak dan makan bubur asyura ini sudah ada sejak lama, turun temurun. Kami ini hanya menjalankan kebiasan dari kecil yang orangtua kami lakukan,” ujar Abdul Hamid, warga Jalan Kopi Selatan, Selasa (11/10).
Pelaksanaan kegiatan juga kental dengan nuansa kebersamaan, karena mulai dari memasak hingga disantap, semua dilakukan secara bersama-sama. Dengan begitu, terjalin silaturahmi, apalagi memasak bubur tersebut dilakukan di halaman belakang Masjid Al Musthofa.
Menurut Hamid, tradisi memperingati hari Asyura merujuk pada sejarah Islam. Banyak kejadian pada 10 Muharam, di antaranya hari penciptaan alam semesta, hari saat Nabi Nuh diselamatkan dari banjir bandang, hari saat Nabi Musa melintasi laut Merah terbelah ketika dikejar tentara Fir'aun, hari saat Nabi Ibrahim selamat dari pembakaran Raja Namrud, hari saat Nabi Yunus keluar dari perut ikan, dan kejadian penting lainnya.
”Terlebih dalam hal ini banyak hal baik dan positif yang dapat diambil dari makna hari Asyura. Karena menyatukan masyarakat, hal ini memberikan dampak baik untuk hidup bermasyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, tradisi membuat dan makan bubur Asyura dilaksanakan di banyak tempat di Sampit, seperti di Masjid Jami dan sejumlah permukiman warga. Bubur Asyura dibagikan kepada anak yatim, masyarakat sekitar pada siang hari. Sebagian disisakan untuk warga yang berbuka puasa sunat di masjid setempat.
”Kami hari ini membuat 20 kilogram beras untuk dijadikan bubur Asyura. Ini sudah menjadi tradisi tiap tahun masyarakat di sini," kata Yunus, warga yang ikut membuat bubur Asyura di Jalan Juanda.
Meski tradisi itu sering dipolemikkan, namun masyarakat tetap melaksanakannya. Masyarakat menilai banyak hal positif yang diperoleh dari kegiatan itu. Saat membuat bubur, wanita dan pria berbagi tugas.
Wanita yang sebagian besar para ibu, bertugas meracik bumbu, sedangkan laki-laki menanak nasi hingga menjadi bubur. Bumbunya persis bumbu soto. Hal yang berbeda adalah campuran bahannya yang terdiri 41 jenis sayur dan kacang-kacangan ditambah daging dan telur.
Sebagian warga ada yang mengartikan tradisi itu sebagai simbol tolak bala. Makin banyak jenis bahan yang dicampurkan, maka dianggap semakin baik. Dalam memperingati hari Asyura, masyarakat diingatkan bersyukur, menjalin silaturahmi, kebersamaan, dan saling berbagi. (dc/ign)