SAMPIT – Praktek prostitusi di Kotim, baik itu yang terselubung dalam bentuk warung remang-remang, tampaknya tidak pernah kapok kendati sudah berkali-kali ditertibkan. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Bupati Kotim Supian Hadi, yang menginginkan adanya tindakan tegas sesuai aturan dalam menghadapi praktek prostitusi illegal tersebut.
Menurutnya, salah satu aturan yang bisa diterapkan yakni, menjerat pemilik lahan untuk tempat prostitusi illegal itu dengan aturan atau regulasi yang tegas.
Untuk warung remang-remang kalau sudah dirazia dan ternyata membangun lagi, perlu kita buat aturan jika tidak bisa menindak secara hukum. Kita tetapkan bahwa mereka tidak boleh lagi membangun apa pun di tanah tersebut, selama sekian tahun. Termasuk pemilik tanah sekali pun. Karena pemilik tanah yang menyewakan tempatnya, untuk membangun usaha tersebut,” paparnya, baru-baru ini.
Supian juga menegaskan, para pemilik tanah tempat warung remang-remang didirikan, sebelumnya harus mengetahui untuk usaha apa lahannya digunakan. Jika dia tahu tapi membiarkan, lanjut Supian, itu adalah pembiaran. Maka mereka perlu mendapatkan penindakan untuk itu, misalnya berupa pemilik tanah tersebut tidak diberikan IMB (Izin membangun bangunan).
”Ini perlu, karena hal ini sering terjadi berulang-ulang di tempat yang sama. Kotim sebagai kabupaten agamis jangan sampai tercoreng gara-gara narkoba, miras, warung remang-remang, dan aktivitas wanita tunasusila. Ini menjadi pehatian kita bersama,” tegasnya.
Bisnis prostitusi lainnya seperti lokalisasi yang ada di pal 12 pun, lanjutnya, perlu untuk ditindak lanjuti. Apalagi pihak pemerintah pusat telah menegaskan bahwa indonesia harus bebas prostitusi pada 2019. Untuk itu, dalam proses pembubarannya, menurutnya jangan bergantung pada anggaran.
Sebab lanjut Supian, jika bicara anggaran, memang tidak akan bisa. Lagi pula, apakah memang ada aturan yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran bagi pengusaha lokaslisasi dan usaha prostitusi atau tidak ada. Saat ini pun masih belum jelas.
”Apakah memang ada aturan yang mewajibkan kita menyediakan anggaran untuk, misalnya, menyediakan Rp 5 juta perorang yang tergusur usaha lokalisasinya? Hal ini harus dikoordinasikan dengan kementerian. Tapi kalau tidak diwajibkan, tidak ada kata tidak bisa. Nanti semua lokalisasi harus tutup,” pungkasnya. (sei/gus)