SAMPIT – Terhitung sejak Januari hingga Desember 2016 Pengadilan Agama (PA) Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, telah menangani perceraian sebanyak 863 kasus. Dari total jumlah kasus yang ditangani tersebut dibagi dalam dua jenis perkara, yakni cerai talak sebanyak 186 kasus dan cerai gugat sebanyak 677 kasus.
”Perkara perceraian itu dibagi menjadi dua jenis, yaitu cerai gugat dan cerai talak. Cerai gugat merupakan perceraian yang diajukan dari istri terhadap suaminya, sementara cerai talak sebaliknya. Dari data kami selama 2016 dapat diketahui bahwa perceraian sebagian besar terjadi karena keinginan dari pihak wanita,” jelas Mursidah, salah seorang Hakim di PA Sampit, Kamis (5/1).
Kendati total perkara perceraian yang ditangani PA Sampit berjumlah 863 kasus, tapi yang dikabulkan tidak semuanya, yang sudah hanya sebanyak 670 kasus. Sementara untuk sisa kasus lainnya, ada yang belum selesai mungkin karena ada banding atau belum menyelesaikan tahapan persidangan, ada pula yang ditolak oleh pihak PA, tidak diterima, digugurkan, dan dicoret dari data register.
Berdasarkan laporan yang dihimpun PA Sampit, faktor penyebab terjadinya perceraian ini bermacam-macam. Antaralain karena zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak pasangan, dihukum penjara, poligami, KDRT, cacat badan, perselisihan dan pertengkaran terus menerus (tidak harmonis), kawin paksa, murtad, dan masalah ekonomi. Dari semua faktor tersebut, perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab yang mendominasi terjadinya perceraian, yakni sebanyak 215 kasus.
”Kurang harmonisnya sebuah rumah tangga memang sangat berpotensi memicu keretakan hubungan dan berujung pada perceraian. Hal ini bisa disebabkan perbedaan prinsip, pendapat, atau memang sudah tidak ada kecocokan antara suami-istri,” ujarnya.
Lanjutnya, perceraian memang kerap kali menjadi alternatif utama yang diambil oleh pasangan suami-istri untuk mengakhiri hubungan yang tidak harmonis. Kendati demikian, perceraian sebaiknya tidak diputuskan secara terburu-buru harus dipikirkan dulu dampak baik atau buruknya kedepan.
Oleh sebab itu, setiap menangani kasus perceraian sebelum menjatuhkan putusan pihak majelis persidangan akan mengadakan mediasi terlebih dulu dengan pasangan suami-istri untuk memberikan nasehat dan saran agar keputusan mereka untuk bercerai tidak menjadi penyesalan belakangannya. Sayangnya, meski telah dilakukan mediasi mayoritas pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian tidak berhasil merubah keputusan mereka untuk bercerai. Untuk tahun 2016 ini hanya 10 pasangan yang berhasil rukun kembali setelah melakukan mediasi.
”Harus dipikirkan dampak selanjutnya dari perceraian tersebut, terutama untuk pasangan suami-istri yang sudah mempunyai anak. Sebaiknya berpikir ratusan kali sebelum bercerai,” pungkasnya.
Jika dibandingkan dengan data PA selama 2015, perkara perceraian selama 2016 jumlahnya menurun. Pada 2015 tercatat ada 945 kasus perceraian, yang terdiri dari 567 cerai gugat dan 181 cerai talak.. Penyebab utamanya sama yaitu karena tidak ada keharmonisan lagi dalam bahtera rumah tangga. (vit/oes)