SAMPIT – Lima kabupaten yang berada di wilayah kerja BPJS Kesehatan Cabang Sampit telah mengintegrasikan Jamkesda dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Di tahun 2016 lalu, Kabupaten Kotawaringin Timur mengikutsertakan 3.141 peserta Jamkesda ke dalam JKN, Kotawaringin Barat mendaftarkan 36.307 peserta , Lamandau sebanyak 3.760 peserta, Seruyan sebanyak 9.751 peserta, dan Sukamara sebanyak 4.312 peserta. Semua peserta penerima bantuan iuran (PBU) tersebut dibiayai oleh APBD masing-masing kabupaten.
”Sedangkan warga yang sebelumnya masuk Jamkesmas dan kini terdaftar program JKN dibiayai oleh APBN,” kata Kepala BPJS Cabang Sampit Atulyadi kemarin.
Menurutnya, peserta penerima bantuan iuran dari APBN terbesar berada di Kotim, yakni mencapai 119.139. Dengan banyaknya peserta PBI dari APBN ini, maka Pemkab Kotim tinggal menanggung sedikit warga miskin melalui APBD.
”Beda dengan Pangkalan Bun, antara peserta JKN yang ditanggung APBN dengan peserta yang ditanggung APBD tidak beda jauh. APBD Kobar tahun 2016 harus membiayai 36.307 warga miskin. Iuran semester II tahun 2016 masih menunggak. Rencananya Pemkab Kobar baru bayar pada triwulan pertama tahun ini,” kata Atulyadi.
Dengan terintegrasinya Jamkesda ke dalam JKN, kata Atulyadi, pemerintah daerah diuntungkan. Sebab, selama ini biaya layanan kesehatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk peserta PBI dari APBD lebih besar dari iuran yang dibayarkan. ”Iuran dari peserta PBI hanya Rp 23 ribu per bulan per jiwa,” kata Atulyadi.
Namun, ada juga pemerintah daerah yang masih menunjukkan keengganannya mengintegrasi Jamkesda ke program JKN. Misalnya, Pemerintah Kabupaten Gowa yang mengajukan Judicial Review terhadap undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, resistensi tersebut dinilai bukan tindakan yang tepat karena menghalangi negara mempunyai sistem tangguh untuk menjamin kesehatan warganya.
Koordinator Advokasi Timboel Siregar mengatakan, tuntutan Bupati Gowa untuk menghilangkan kewajiban Jamskesda terintergasi ke BPJS kesehatan merupakan masalah yang sederhana. Alasan mengenai keberatan anggaran saja. Alasan tersebut juga menjadi dasar pemerintah daerah sempat enggan menggabungkan program jamkesdanya kepada BPJS Kesehatan.
’’Pemkab Gowa mengatakan butuh 26 miliar per tahun jika gabung ke BPJS padahal anggaran di APBD hanya 17 miliar. Tapi, pertanyaannya apakah memang benar bahwa ini soal anggaran,’’ ujarnya di Jakarta kemarin (5/1).
Hingga saat ini, lanjut dia, pemerintah daerah yang awalnya enggan sudah banyak yang bergabung dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri 19 Oktober 2016. Namun, keputusan Pemkab Gowa untuk tetap menolak tersebut harus mendapatkan pertimbangan tertentu. Menurutnya, dengan kemauan politik yang cukup, harusnya permasalahan anggaran tersebut bisa diselesaikan.
’’Pemerintah daerah harusnya melakukan survei kembali dan melihat apakah peserta Jamkesda sudah ada yang naik kelas sehingga tak perlu titanggung lagi. Atau, kalau memang ada keberatan anggaran, warga daerah yang benar-benar tidak mampu harusnya bisa diminta untuk menjadi peserta PBI (penerima bantuan iuran) dari APBN,’’ jelasnya.
Dalam APBN 2017, lanjut dia, kuota peserta PBI sendiri dinaikkan dua juga orang menjadi total 94,4 juta jiwa. Namun, alokasi Rp. 26,05 triliun tersebut juga belum tentu terserap. Tahun lalu, dari target 92,4 juta peserta PBI, pemerintah hanya menyerap 91,8 juta peserta. Karena itu, masih banyak kuota yang bisa dimanfaatkan pemda yang tidak kuat menanggung iuran.
Namun, tegasnya, pemerintah daerah harus jujur apakah benar mereka tidak sanggup membayar iuran BPJS dengan APBD yang ada. Menurut amanat undang-undang nomor 3 tahun 2009, pemerintah daerah harus mengalokasikan minimal 10 persen APBD untuk sektor kesehatan. Jika memang ada proyek kesehatan yang harus dikorbankan untuk membayar iuran, Timboel menegaskan bahwa pemda memang harus fleksibel dan memprioritaskan anggaran BPJS.
’’Kalau ternyata ada yang mengaku tak punya anggaran tapi APBD kesehatan masih di bawah 10 persen maka Mendagri harus memberi sanksi kepada kepala daerah tersebut,’’ terangnya.
Timboel menilai bahwa pemerintah pusat memang harus teliti melihat penolakan pemerintah daerah. Pasalnya, penolakan tersebut juga bisa berarti adanya upaya pemerintah daerah untuk mengelola bebas anggaran. Dengan kata lain, celah lain untuk melaksanakan tindakan korupsi.
’’Saya berharap Indonesia bisa segera mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) dengan dimulai dari intergasi ini,’’ jelasnya.
Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengingatkan bahwa integrasi jamkesda ke sistem JKN merupakan amanat dari undang-undang. Sehingga, harusnya pemerintah daerah bisa mendukung agar setiap warga negara Indonesia punya akses kesehatan yang merata di setiap wilayah.
’’Yang dimaksudkan kenapa harus dimasukkan sistem. Supaya warga tersebut juga bisa mendapatkan akses kesehatan meski dia berada di wilayah luar daerah asal. Kalau program jaminan kesehatan daerah kan terbatas,’’ jelasnya. (yit/bil/jpg)