SAMPIT – Harga cabai rawit di Kota Sampit kian meroket. Sebelumnya, harga masih berkisar antara Rp 80 ribu – Rp 95 ribu per kg, sejak Kamis (5/1) naik menjadi Rp 140 ribu – Rp 190 ribu per kg.
”Sejak akhir tahun kemarin, harga cabai memang sudah naik, karena menghadapi Maulid Nabi, Natal, dan Tahun Baru. Sudah biasa seperti itu, habis tahun baru biasanya turun lagi. Tapi, sekarang harganya malah semakin naik, gara-gara kurangnya pasokan cabai dari Jawa,” kata Acil Agus, pedagang sembako dan sayur-mayur di Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit, Jumat (6/1).
Informasinya, kenaikan harga cabai disebabkan dua faktor. Pertama, gelombang tinggi mengganggu pengiriman bahan logistik yang menggunakan kapal laut. Kedua, disebabkan pasokan cabai dari Jawa yang selama ini menjadi daerah penghasil cabai berkurang, lantaran terjadi banjir di sejumlah wilayah yang menyebabkan gagal panen. Akibatnya, bukan hanya di Sampit, tapi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
”Kapal yang mengangkut minyak dari sini aja dengar-dengar baru bisa berangkat hari ini (kemarin, Red). Dari Jawa juga saya yakin terhambat seperti di sini. Cabai ini kan kalau nggak pakai kapal ya pakai pesawat pengirimannya. Kalau pakai pesawat biayanya juga akan mahal. Terus, dengar-dengar produksi cabai di Jawa juga berkurang gara-gara banjir. Kabarnya, di daerah sana juga harganya sudah tembus Rp 150 ribu, apalagi di sini,” ujarnya.
Kenaikan harga berdampak pada turunnya permintaan masyarakat. Misalnya, konsumen yang biasanya membeli cabai satu kilogram, terpaksa mengurangi pembeliannya menjadi setengah kilogram untuk menyesuaikan dengan anggaran belanja mereka.
Husein, seorang pedagang sayur keliling mengaku tidak berani lagi membeli cabai dengan jumlah besar untuk dijual, karena takut tidak laku. ”Nggak berani bawa cabai banyak-banyak lagi, takut nggak laku. Apalagi kalau orang-orang di kampung biasanya beli nggak sampai sekilo, paling Rp 5 ribu – Rp 10 ribu untuk makan sehari. Sekarang kalau cuma beli segitu, dapatnya nggak seberapa. Satu ons saja sudah Rp 15 ribu. Ujung-ujungnya mereka nggak jadi beli,” tuturnya.
Akibat kenaikan harga itu, masyarakat, khususnya kalangan ibu rumah tangga (IRT), mengeluh karena biaya kebutuhan dapur bertambah. Terlebih bagi mereka yang memiliki usaha rumah makan kecil-kecilan, modal yang dikeluarkan bisa jadi tidak sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.
Untuk mengatasi masalah kenaikan harga cabai, Maya, seorang IRT mengaku terpaksa mengurangi konsumsi cabai di rumahnya dan menggantinya dengan sambal instan atau botolan.
”Jadi ibu rumah tangga harus pintar menyiasati masalah seperti ini supaya budget untuk belanja mencukupi. Kalau cabai mahal kan masih ada sambal botolan atau bisa juga ketika bikin sambal cabainya tidak usah terlalu banyak, tapi ditambahi merica sedikit biar tetap terasa pedasnya. Memang sih rasanya beda dengan sambal cabai asli, tapi mau bagaimana lagi kalau harga cabai semahal itu,” katanya.
Ada juga IRT yang mengaku terpaksa tetap membeli cabai lantaran terbiasa mengonsumsi makanan pedas dan tidak suka dengan sambal instan. Lita, misalnya. ”Orang di rumah terbiasa makan yang pedas, jadi mau nggak mau tetap beli dalam jumlah biasanya. Nggak apa-apa untuk sementara, nanti juga harganya turun lagi kalau kondisi sudah membaik. Kalau sambal instan kurang enak,” katanya.
Kendati harga cabai rawit naik, harga cabai merah tetap standar, yakni Rp 60 ribu per kg. Harga lain yang ikut naik adalah daging ayam ras, dari kisaran harga Rp 38 ribu – Rp 40 ribu, menjadi Rp 45 ribu. Itu disebabkan kurangnya pasokan dari peternak ayam. Komoditi lain yang diprediksi akan naik adalah bawang merah. Di sisi lain, sejumlah komoditi justru mengalami penurunan, seperti telur ayam dari Rp 38 ribu menjadi Rp 33 ribu. (vit/ign)