SAMPIT – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) diminta menetapkan tarif resmi pengurusan surat keterangan tanah (SKT). Hal itu sebagai acuan bagi aparatur pemerintah di tingkat kelurahan dan desa dalam memungut biaya SKT, serta menghindari pungutan liar.
”Di sejumlah desa kesulitan membuatnya, karena aturan atau payung hukum untuk retribusi biaya pembuatan SKT itu belum ada,” kata Ketua Komisi I DPRD Kotim Handoyo J Wibowo, kemarin.
Seperti diketahui, oknum lurah Baamang Tengah sebelumnya tertangkap tangan menerima uang dari warga yang ingin mengurus SKT. Sebagian kalangan menilai, hal itu terjadi karena belum adanya aturan resmi mengenai tarif SKT. Pengurusan SKT dinilai memerlukan biaya.
Handoyo menuturkan, sejauh ini pemerintahan desa belum mengacu ketentuan biaya pembuatan legalitas awal lahan masyarakat itu. Di satu sisi, hal itu berpotensi menjadi ladang pungutan liar. Apabila itu dibiarkan, dampak yang akan dirasakan, masyarakat merasa terbebani dengan biaya yang tidak jelas. Selain itu, kepala desa dan lurah juga terancam ditangkap tim saber pungli.
”Kita harus berikan kepastian dan dasar hukum soal tarif. Dengan demikian, jika ada yang berani membebankan biaya di atas tarif itu, silakan tim saber menangkap oknum tersebut,” tegasnya.
Handoyo mendorong pemkab memberikan legalitas hukum terkait tarif dalam mengurus biaya SKT. ”Sejauh ini aparatur desa masih rawan terseret masalah hukum, karena tarif mereka tidak jelas acuannya. Misalnya saja ada perdes, apakah perdes itu sudah dievaluasi pemerintah? Terutama soal pungutannya. Kami khawatir jika tidak cepat, penanganannya, banyak kades dan lurah akan ditangkap saber,” tandasnya. (ang/ign)